Minggu, 19 Agustus 2012

JARINGAN KEMITRAAN DAN PEMBANGUNAN MASYARAKAT



Oleh:
H.M.Norsanie Darlan
Diaparkan Untuk Tenaga Lapangan Diklas
Dalam pola Pengembangan Pendidikan Orang Dewasa

Pendahuluan
Tulisan dalam buku kecil ini diambil dari berbagai sumber pustaka yang memperhatikan terhadap perkembangan pendidikan luar sekolah (PLS) yang sekarang disebut juga pendidikan non formal. Diharapkan para tenaga lapangan Dikmas yang tentunya bervariasi latar belakang pendidikannya. Akan dapat memahami apa sebenarnya dunia pendidikan luar sekolah yang sebenarnya.
Tantangan yang dihadapi tenaga lapangan Dikmas dewasa ini, adalah sulitnya menghadapi lapangan kerja di luar Diknas sementara kran pekerjaan yang tersedia hanya dilingkungan Dikmas. Dipihak lain, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia juga memproduk tenaga PLS yang dipersiapkan ke arah itu. Diharapkan semakin tahun kran pekerjaan semakin terpenuhi.
Ada keluhan berbagai pihak setelah kran pekerjaan untuk TLD dibuka, ternyata dari hasil penelitian sekelompok orang para (ahli) hasilnya adalah kesungguhan untuk bekerja di dunia pendidikan luar sekolah ini, tidak seluruhnya memahami, menekuninya. Sehingga setelah mencapai atau sebelumnya menjadi PNS sudah muncul pemikiran untuk mutasi atau operhang pada Dinas, Badan atau Instansi yang ada kaitannya dengan latar belakang pendidikan yang ia miliki. Sehingga ada dugaan yang kuat, bahwa Dikmas sebagai batu loncatan sekelompok orang untuk mencari kerja di PNS sementara hasil kerjanya belum menunjukkan bukti yang kuat. Akibatnya merugikan pihak Dikmas, sehingga kran pekerjaan lain semakin tahun semakin selektif.
Meteri buku kecil ini, akan menguraikan berupa: beberapa pengertian, pendidikan, pendidikan masyarakat, TLD dan pendidikan orang dewasa, beberapa masukan, membangun strategi, konsep diri yang jelas, ekstrapolasi nilai-nilai kehidupan, sukses story,  motivasi pekerjaan.  Untuk lebih jelasnya hal-hal yang penulis kemukakan di atas, mari kita pelajari satu demi satu dalam uraian berikut ini:

Istilah dan Penjelasan
Arti jaringan menurut Moeliono (1989; 352) adalah: ”... bagan yang menggambaran sebuah tali temali kegiatan di dalam suatu proyek pembangunan tertentu…”. Sehingga jaringan adalah suatu sistem yang terdiri atas sejumlah hal, yang dioperasikan oleh suatu organisasi induk dan sering menyampaikan program yang serupa pada waktu yang sama suatu jaringan misal pada bangunan dalam bentuk bendungan dan saluran air yang dibuat oleh pemerintah atau petani untuk membantu pengaturan pengaliran air sesuai dengan kebutuhan.
Dalam hal komunikasi adalah sejumlah kegiatan komunikasi yang saling bertautan limpoit jaringan berbentuk jala yang mengandung limpoit tapis jaringan utama yang terhadap pada tumbuhan.
            Sedangkan menurut ahli bahasa lain, Shadily (1982; 1545) adalah: “… jaringan itu berguna untuk tujuan berbagai hal yang dibutuhkan untuk kepentingan tertentu…”. Misalnya dalam perencanaan, jaringan memerlukan suatu penelitian lapangan yang baik, karena ketepatan sebuah jaringan di suatu daerah sedapat mungkin harus menggunakan data yang dikumpulkan untuk menentukan keakuratannya. Dengan demikian jaringan yang kita bicarakan dalam hal ini adalah suatu kerangka kerja yang harmonis dari Tenaga Lapangan Dikmas baik dengan  pihak pemerintah maupun masyarakat untuk tujuan yang sama agar warga masyarakat yang diayomi mendapatkan suatu bekal pendidikan yang memadai dalam rangka penuntasan wajib belajar sembilan tahun di Indonesia.
Bila kita berbicara tentang mitra atau kemitraan, maka secara sederhana menurut: Moeliono (1989; 588) adalah suatu: “… teman sahabat kawan kerja, pasangan kerja, rekan…”;  Kata lain adalah kemitraan adalah perihal hubungan   (jalinan kerjasama dan sebagainya) sebagai mitra yang dapat saling menguntungkan.
Sedangkan menurut Shadily (1983; 2264) secara histiros tentang Mitra adalah:”…sebuah sebutan dalam bahasa Sanskerta, sama dengan Mithtras  dalam bahasa Yunani dan Latin, Mithra dalam persia kuno (= teman). Dewa pujaan konu India dan Iran. Dalam agama Zoroaster mula-mula sebagai dewa bawahan terhadap Ahura Mazda, terang dan kebahagiaan. Dalam abad ke 5 ia menjadi dewa utama Persia…”.
Dengan demikian mitra TLD yang kita bicarakan di sini tidak lain adalah suatu hubungan kerja dalam upaya meningkatkan kerjasama kepada berbagai pihak untuk mencari bentuk kesepakatan yang dapat menghasilkan suatu tujuan yang sama dalam dunia pendidikan luar sekolah. Kemitraan dimaksud seorang tenaga TLD harus benar-benar mengentahui kondisi kehidupan masyarakat di mana ia bekerja. TLD yang dapat memberdayakan masyarakat khususnya dibidang pendidikan. Untuk diketahui bersama bahwa Depdiknas membuka kesempatan atau kran pekerjaan ini, agar warga masyarakat berdaya dalam menuntaskan Wajar 9 tahun pada khususnya dan membangun kemitraan dengan menjalankan ekonomi masyarakat pada umumnya. Sehingga adalah 3 jalur pendidikan dewasa ini dapat terayomi.      
Kemitraan dimaksud merupakan hubungan kerja kesetaraan satu sama lain. Selain itu juga kemitraan memiliki konsep saling keterbukaan yang saling menguntungkan. Hal ini erat hubungannya dengan konsep HAM dewasa ini. Sehingga diharapkan terjadinya saling memahami, saling menghormati, saling memerlukan dll. Sedangkan pelaku kemitraan adalah: organisasi, LSM, Agama, Masyarakat, PT, wanita, DPR dll.
Peran Diknas adalah sebagai mediatur dalam membangun masyarakat yang dewasa ini mudah tersinggung, mudah marah, sehingga type pendidikan yang bagaimana paling efektif dalam pembangunan kita guna mencapai manusia seutuhnya. Dan pendidikan dari berbagai jalur perlu dilakukan agar masyarakat tuna aksara jumlahnya semakin hari semakin menipis.
Adapun istilah pola menurut Moeliono (1989; 692) adalah: “… suatu gambaran yang dipakai untuk contoh batik; Corak batik atau tenun; Potongan kertas yang dipakai sebagai contoh dalam membuat baju dan sebagainya…”. Pola dalam kegiatan kita sekarang ini, tidak lain adalah menentukan sebuah bentuk pelatihan yang dapat memberikan satu konsep baru untuk proses pembelajaran pendidikan luar sekolah atau istilah sekarang disebut dengan pendidikan non formal. Pola yang sulit dilakukan oleh alumnus di luar PLS adalah karena mahasiswa di program studi PLS selama 4-5 tahun ia diberikan berbagai pola kehidupan masyarakat yang mendekati kesesuaian dengan aslinya.
Sedangkan pembangunan menurut Shadily, (1984; 2612) adalah: ”…suatu pertumbuhan, perluasan ekspansi yang bertalian dengan keadaan yang seharusnya digali dan yang seharusnya dibangun agar dicapai kemajuan dimasa yang akan datang. Pembangunan tidak hanya bersifat kuantitatif tetapi juga kualitatif, manusia seutuhnya. Pembangunan di Indonesia berlandaskan Pancasila dan UUD’1945, dan melalui kebijaksanaan Trilogi pembangunan….”. 
Pendapat lain Moeliono (1989; 77) adalah :”… suatu proses,  pembuatan, cara membangun; dari atas proses pembangunan yang dimulai dari negara maju melalui pemerintah. Negara berkembang, diturunkan kepada rakyat; dunia ikhtiar untuk mengubah keadaan dunia masa lampau yang tidak sesuai dengan cita-cita kehidupan manusia lahiriah maupun bathniah dengan tujuan agar dapat mewariskan masa depan yang lebih membahagiakan bagi generasi yang akan datang…”. Misal seperti Inprasturuktur pembangunan prasarana; politik pembangunan yang mengarah kepada keinginan perasaan dalam arti warga negara akrif atau terlibat dalam berbagai kegiatan politik; Prasarana pembangunan dasar atau prasarana politik,   ekonomi, dan sosial untuk mendorong masyarakat berusaha mencapai modernisasi, yang meliputi perubahan istitusianal untuk mendukung usaha nasional dalam mengembangkan kemudahan seperti jalan, dan pengaman, komunikasi, pengairan, dan sistem perhubungan; sosial keadaan hidup yang harus dipandang dari sudut kualitas yang dilihat dari pemilikiran menyeluruh dan dari sudut kuantitas yang dapat diukur dan diamati.
Pendapat tentang masyarakat seorang ahli bahasa Indonesia bernama Moeliono (1989;  564) adalah:”… sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama...”; Masyarakat desa adalah yang penduduknya mempunyai mata pencaharian utama dalam sektor bercocok tanam, perikanan, peternakan, atau gabungan dari kesemuanya itu, dan yang sistem budaya dan sistem sosialnya mendukung mata pencaharian itu; Sedangkan masyarakat kota adalah yang penduduknya mempunyai mata pencaharian dalam sektor peradangan dan industri, atau yang bekerja dalam sektor administrasi pemerintah. Secara majemuk masyarakat yang terbagi dalam kelompok persatuan yang sering memiliki budaya yang berbeda; jika disebut modern adalah masyarakat yang perekonomiannya berdasarkan pasar secara luas, spesialisasi dibingan industri, dan pemakalaian teknologi canggih, adapun yang pedesaan masyarakat desa: primitive masyarakat yang mempunyai sistem ekonomi sederhana: tradisional, masyarakat yang lebih banyak dikuasai oleh adat istiadat yang lama.
            Pengertian masyarakat menurut Shadily (1983) adalah “…suatu istilah umum dan dan kabur dalam ilmu sosiologi. Sekurang-kurangnya mengandung 3 pengertian  yaitu:
(a) sama dengan Gesellschaft, yakni bentuk tertentu kelompok sosial seperti dikemukakan F. Tonnies. Pengertian ini sekarang sudah tidak lazim di pakai lagi;
(b) keseluruhan masyarakat “masyarakat manusia”, meliputi seluruh kehidupan bersama.  Istilah ini dihasilkan dari perkembangan ketergantungan manusi yang pada masa terakhir ini sangat dirasakan;
(c) menunjukkan suatu tata kemasyarakatan tertentu dengan ciri sendiri (identitas) dan suatu autonomi (relatif); seperti masyarakat barat, masyarakat soviet, Amereka.
Dalam pengertian ini, kelompok suku bangsa primitif yang belum banyak berhubungan dengan dunia sekitar, juga sering disebut masyarakat, karena kelompok yang demikian juga membentuk suatu keseluruhan dan menunjukkan hubungan manusia serta nilai-nilai sosial. Para tokoh terkemukan dibidang sosiologi kebudayaan dan sosiologi seperti PA Sorokin, S. Spengler, A.J. Toynbee, dan A.Weber juga menggunakan istilah masyarakat dengan pengertian terakhir itu.

Pendidikan
            Arti Pendidikan menurut Shadily (1984; 2628) adalah:”...berdasarkan sejarahnya didirikan di Yogyakarta dalam akhir Desember 1931, atas anjuran Sutan Syachrir, oleh anggota-anggota PNI lama yang tidak setuju dengan membubaran PNI – Lama yaitu perikatan golongan merdeka yang semula bergabung dalam club pendidikan nasional Indonesia. Para pemimpinnya ialah Mohamad Hatta. Sutan Syachrir, Sukemi, Inu Perbatasari, T.A. Murad, Subagyo. Tujuan: membangun masyarakat berdasarkan saling kerjasama dan persamaan hak, dan yang membahas dari segala unsur KAPITALISME, IMPERIALISME. Menghapuskan masyarakat berkelas, milik perseorangan, dan alat produksi ditangan negara. Berhaluan non koperasi. Atas tuduhan menghasud pemberontakan, beberapa pemimpinnya   ditangkap: Moh. Hatta, Sutan Syachrir, Maskun, Burhanuddin, Murwoto, dan Bondan, dibuang ke Digul hulu (1934).

Pendidikan Masyarakat
Istilah pendidikan masyarakat sudah dikenal di lingkungan pemerintah dan masyarakat Indonesia sejak tahun pertama indonesia merdeka. Menurut Sanapiah Faisal (1981; 52) adalah ”...sudah muncul suatu jawatan pendidikan masyarakat, bernaung di bawah Kementerian Pendidikan, pengajaran dan Kebudayaan. Tugas dari jawatan tersebut adalah membangun menyadarkan, menginsyafkan dan mengisi masyarakat di luar dunia sekolah, agar tiap warga negara menjadi anggota masyarakat yang sadar, hidup berguna dan berharga bagi negara, nusa, bangsa dan dunia...”. Kalimat kutipan di atas, ada hubungannya dengan surat keputusan Menteri P dan K (sekarang Mendiknas dengan berbagai perubahan) dengan nomor 423/A. 24 Nopember 1949.
Adapun bentuk-bentuk pelaksanaan pendidikannya yang utama masa itu adalah sebagai berikut:
1.       Kursus-kursus;
2.       Belajar bersama di dalam kelompok-kelompok belajar (Kejar);
3.       Magang atau Ngernet;
4.       Belajar individu mandiri, seperti di perpustakaan;
5.       Penyuluhan-penyuluhan.
Adapun populasi sasaran didiknya, terutama ditujukan pada warga masyarakat yang mengalami keterlantaran baik pendidikan maupun sosial ekonomi pemuda maupun orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan.        

TLD dan Pendidikan orang dewasa
Dalam Perkembangannya, menurut Darlan (2007) bahwa: ”...pendidikan orang dewasa lebih ditekan pada pokok perbedaannya dengan cara pendidikan yang tradisional. Tetapi pemisahan yang jelas ini tidak terjadi sekaligus; pada permulaannya, menjelang abad ke 19, pendidikan orang dewasa ini ditentukan oleh pola-pola karena tidak ada alternatif...”. Pada waktu itu, sebagian besar orang yang belajar adalah para pekerja yang sama sekali tergantung pada lembaga umum serta swasta. Dan pengurus serta stafnya untuk mendapatkan pelajaran; sedangkan para guru sendiri tunduk pada pola kebudayaan tradisional, pedoman pokok atau asuhan.
Generasi para pekerja   mengikuti pelajaran pada malam hari, karena mereka disiang hari bekerja mencari nafkah. Namun belajar, suatu cara untuk mendapatkan kondisi kehidupan yang lebih baik dan keamanan lebih besar, atau karena mereka mau memenuhi keinginan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian, atau lagi karena mereka harus mencari senjata persaingan dalam hidupnya. Sebab setelah mereka melihat teman, kawan mereka sudah dapat membaca dan menulis maka mereka punya arti yang tinggi dalam hidupnya.
Tidaklah diragukan lagi bahwa banyak diantara pelajar yang sudah dewasa telah mengambil menfaat dari usaha mereka ini. Mereka mendapatkan pelajaran, mereka memperbaiki keadaan mereka dengan salah satu cara mereka mengikuti jejak peradaban modern yang menuntut pendidikan – tetapi alangkah besar kekecewaan, salah paham dan kepahitan yang dialami mereka. Makin bersemangat sebagai perintis beberapa pria dan wanita ini, dan makin berani serta terbuka, maka mereka makin terbentur pada tembok konsep kebudayaan. Mereka menyadari bahwa pengajaran adalah alat ampuh untuk pembauran dan keseragaman. Mereka menolak untuk membaurkan diri pada suatu kebudayaan yang bertabiat borjuis dan konservatif  yang mengagungkan nilai masa lampau, peninggalan, ketertiban dan keamanan dengan mengorbankan nilai lainnya, perjuangan, pembaharuan dan keterbukaan. Mereka mengadakan reaksi terhadap bahaya dari suatu kebudayaan yang menyendiri yang mendengungkan obyektivitas dan pemisahan, sedangkan hal itu pada hakekatnya  adalah alat yang dipilih untuk mempertahankan kepentingan golongan yang berkuasa. Mereka menolak dongeng dan kegaiban tentang suatu alasan universal yang asing bagi keadaan lingkungan dan bagi perjuangan untuk memperoleh pengakuan atas hak dan keadilan sosial.
Menurut Paul Lengrand (1984; 27) adalah”...Suatu sebab kekecewaan lainnya bagi mereka ialah cara kerja sistem pendidikan.....”. Pelajaran yang mereka terima dibentuk menurut pola pengajaran tradisional sebagai mana yang diberikan pada anak: pemberian secara searah, pengetahuan, latihan, tugas, pemeriksaan apa yang telah dipelajari, ujian dan ijazah. Tidak ada usaha kerah ilmu jiwa yang menunjukkan perbedaan, kecuali hanya ikut membebek pada sturuktur klasik tentang masa percobaan saja.
Dengan melawan latar belakang sturuktur intelek, ideologi, budaya dan metodologi inilah suatu bentuk baru pendidikan orang dewasa lambat laut berwujud, lahir dan dipupuk agar melepaskan diri dari jejak sekolah dan tradisional yang universitas, didalam perguruan rakyat (Denmark), organisasi pendidikan bersama, didalam lembaga pendidikan pekerja atau koperasi, di dalam gerakan atau perkumpulan rakyat dan sebagainya. Melalui pengalaman yang diperoleh dalam lembaga gaya baru ini, tumbuhlah sedikit demi sedikit suatu bentuk baru hubungan pendidikan. Kaum dewasa yang mengikuti pendidikan atau kegiatan studi, tidak lagi menjadi murid yang tunduk pada disiplin dari luar dan menerima pengetahuan dari suatu sumber asing. Dari kedudukan tunduk pada pendidikan – pada azasnya situasi setiap orang yang belajar – ia menjadi alat pendidikannya sendiri dan kembali menguasai dirinya sendiri sebagai orang dewasa. Pribadi baru ini menjadi manusia dalam arti yang seluas-luasnya, dikaruniai pilihan sikologis dan sosiologisnya sendiri, sadar akan dirinya sendiri dan turut serta dalam berbagai perlombaan yang masing-masing mempunyai tujuan khusus: perlombaan untuk tetap hidup, perlombaan untuk pengetahuan, dan perlombaan untuk kemajuan perseorangan serta kelompok. Dari pada dikutuk karena berkedudukan lebih rendah di dalam hubungannya dengan pengajar yang menjadi “tuannya”, maka lebih baik murid yang sudah dewasa menjadi kawan usaha bersama dan di dalam usaha itu ia mampu mengambil maupun menerima: dengan menerima apa yang didapat dari pelajaran, ia dapat menukarkan kekayaan, yang tidak ternilai berupa caranya menjadi manusia, dan keberhasilannya mencapai tujuanya sebagai pekerja, warga negara atau kedudukan lain yang dipergunakan dalam salah satu situasi dan hubungan yang beraneka ragam. Sejak saat itu penekanan lebih banyak di tunjukan kepada menjadi daripada mempunyai, dan mempunyai itu hanya sampai batas akal itu membantu dan membenarkan seseorang, dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan taraf perkembangan kehidupan pribadi berikutnya.
   Kekuatan pengerak dibelakang pendidikan gaya baru ini juga berbeda sama sekali dengan pendidikan yang menentukan cara mengajar anak, antara lain kewajiban. Mau tidak mau, karena undang-undang dan orang tuanya, anak itu terpaksa meninggalkan permainan dan perintang waktu demi kegiatan yang kepentingan dan daya tariknya tidak selalu jelas baginya. Hasilnya ialah suatu keteguhan yang kuat dalam lembaga pendidikan tetapi pada saat yang sama merupakan juga merupakan semacam kebekuan dan kekolotan.hal demikian ini tidak lagi memengaruhi kaum dewasa. Tentu saja ia dapat tunduk pada batasan atautekanan tak langsung, beberapa diantaranya ada yang bercorak ekonomi dan yang lain bercorak politik. Tetapi seorang dewasa jarang didorong dengan paksaan untuk duduk dibangku sekolah. Yang umum berlaku ialah bahwa ia hanya akan mengorbankan waktunya yang luang dan turut serta dalam kegiatan pendidikan kalau didorong oleh kepentingan dirinya sendiri, jikalau ia menyadari kaitan antar apa yang ditawarkan kepadanya dan bila mana tidak terdapat hubungan itu, maka penyelesaiannya adalah orang dewasa itu menjauhkan diri, atau kalau ia memberanikan dirinya, maka ia akan segera meninggalkan eksperimennya.
Pendidikan orang dewasa, dewasa ini sedang hangat dibicarakan dalam rangka rapat panitia ad hoc oleh SK Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, di Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) yang pekerjanya salah seorang penulis makalah ini. Dan kebetulan di Kalimantan hanya satu-satunya yang ada di Pulau terbesar di tanah air kita. Penulis Guru Besar Bidang Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang kebetulan dicari Mendiknas untuk membicarakan konsep negeri kita tercinta ini, ke depan 15 sampai 25 tahun yang akan datang.
menurut Darlan (2007) adalah:”... dalam dunia pendidikan luar sekolah (PLS) ternyata banyaknya buta huruf, diawali ketidak perdulian pemerintah dalam menempatkan tenaga kerja di bidang PLS itu sendiri...”. Dalam arti makro pekerjaan bidang pendidikan di tempatkan mereka  bukan ahli bidang pendidikan itu. Akibatnya program yang dilancarkan tidak kena sasaran. Sehingga ”....angka buta huruf kok tak kunjung tuntas..,” Karena penanganan hal itu, belum bisa terpecahkan.
Bila kita mengurai apa itu pendidikan, maka secara luas pendidikan (Lat.: educare = mengantar keluar). Proses membimbing termasuk membimbing masyarakat tuna aksara seperti yang kita hadapi sekarang adalah bimbingan dari manusia kepada manusia.  Memurut Shadily (1984; 2627) Dari ”....kegelapan kebodohan ke kecerahan pengetahuan...”.  Dalam arti luas, pendidikan baik yang formal, nonformal  maupun informal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri dan tentang  dunia di mana mereka itu hidup. Menurut pendidikan terbagi dalam 3 macam yakni:
1.  Dresur yakni pendidikan yang berdasarkan paksaan; dilakukan pada anak-anak yang umurnya belum 1 tahun;
2. Latihan, dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan yang dilakukan sedapat-dapatnya secara sadar oleh anak didik;
3.  Pendidikan, dimaksud untuk membentuk kata hati; anak didik,  warga belajar agar berbuat menurut kesanggupan sendiri, dan menentukan kelakuan sendiri atas tanggung jawab sendiri pula.
Pendidikan dimaksud diberikan agar mereka sampai dianggap sanggup berdiri sendiri pada bidangnya.  Dalam jalur pendidikan pendidikan orang dewasa tentu pendidikan tidak semudah pendidikan formal. Pendidikan orang dewasa menurut: Lyra Srinivasan (1981; 20) bahwa:”...lebih cenderung menggunakan pendekatan tersendiri, karena warga belajarnya orang dewasa ini jauh berbeda dengan yang lain, mareka pendekatannyapun tidak semudah pada jalur pendidikan formal. Pendidikan orang dewasa lebih banyak menggunakan andragogi suatu teknologi keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pendidikan orang dewasa itu sendiri...”.
Pendidikan orang dewasa menurut tokoh di atas sangat luas. Memerlukan beberapa pendekatan. Karena kita ketahui bersama bahwa pendidikan kepada mereka yang tidak pernah bersekolah atau karena putus sekolah itu, mereka harus mengikuti pendidikan nonformal, dengan harapan mereka akan memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap psikologis, khas diantaranya: memiliki rasa rendah diri jika berada di ruang belajar. Walau secara praktisi jika ia mengemukakan suatu pengalamannya ada kalanya jauh lebih baik dalam pada bidang tertentu dibanding mereka yang telah memperoleh pendidikan formal.  

Berbagai masukan
Menurut Nugroho (2004) adalah: “…Hidup sejahtera adalah impian setiap orang. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua orang punya kesempatan dan bisa mewujudkan impian mengapai kehidupan yang sejahtera Hampir setiap orang menyiapkan dirinya untuk bisa menjadi orang sukses di bidangnya. Untuk menuju hidup sukses, masing-masing individu membekali diri dengan pengetahuan dan ketrampilan, yang ditempuh melalui pendidikan formal, kursus dan magang kerja….”.
Sesungguhnya semua orang memiliki peluang yang sama untuk menjadi sukses; meskipun bekal pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki sering sangat berbeda. Perbedaan modal awal indah yang sering berakibat pada kesenjangan kualitas kesuksesan antara individu yang satu dengan yang lain. Meski demikian fakta empiris menunjukkan bahwa gagal atau suksesnya seseorang dalam menjalani hidupnya (merintis usaha), antara lain sangat ditentukan oleh character kepribadian seseorang.
Berbagai riset yang dilakukan pakar psikologi, menunjukkan bahwa ada sejumlah sifat dasar yang menjadi karakter kepribadian orang-orang yang sukses di bidangnya. Menurut Markum (2003) orang-orang yang sukses di bidangnya (baik menjadi wirausaha, artis, atlit dsb) umumnya memiliki sifat-sifat:
1.       Suka bekerja keras, 2.
2.       Memiliki disiplin yang tinggi;
3.       Komitmen (task commitment),
4.       Prestatif;
5.       Mandiri,
6.       Realistik.
Sifat-sifat tersebut membangun satu kesatuan karakter kepribadian individu. Sedangkan pakar yang lain Benediccta, (2003) dan Nugroho (2004) mengidentifikasi sejumlah ciri kepribadian orang yang sukses dalam lingkup wirausaha adalah mereka yang memiliki ciri-ciri:
a. punya keyakinan diri (percaya diri);
b. luwes dalam bergaul (flexibility),
c. instrumental.
d. kerja keras.
e. swa kendali.
f. pengambilan resiko,
g. kemandirian,
h. inovatif,
i. prestatif.
Jika dicermati maka sesungguhnya sukses bukan hanya sesuatu yang tampak dari kulit luar saja, melainkan sesuatu yang bersumber dari konstruksi karakter kepribadian yang ada di dalam diri seseorang. Sayangnya, masyarakat umumnya hanya memandang keberhasilan pertama-tama dari penampilan kulit luarnya saja; tanpa memahami kedalaman dimensi-dimensi kepribadian yang dimiliki orang sukses tersebut. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa jika hendak mencapai sukses pelajarilah lebih dulu sejumlah sifat atau karakter kepribadian yang menjadi prakondisi menuju sukses; jangan sekali-kali hanya meniru gaya hidup orang sukses, tanpa tahu substansi "ruh" kepribadian untuk menjadi sukses.
Kedua pakar tersebut menemukan sejumlah ciri kepribadian pada orang-orang sukses yang hampir sama. Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah cara membangun karakteristik kepribadian dengan sejumlah ciri-ciri kepribadian seperti tersebut diatas? Bagaimana membangun karakteristik kepribadian pada diri orang yang sudah dewasa ?

Membangun Strategi
Membangun karakteristik kepribadian dengan sejumlah ciri-ciri seperti di atas membutuhkan sejumlah strategi, apalagi jika hal itu ditujukan kepada orang yang sudah dewasa yang umumnya kepribadiannya sudah terbentuk Hal ini tentu sangat berbeda dengan pembentukan kepribadian di masa kanak-kanak. Strategi yang tepat untuk diterapkan pada orang dewasa adalah real experience. Artinya, memberikan pengalaman langsung kepada setiap subyek untuk merasakan, mengalami dan mengevaluasi sendiri berbagai keadaan yang ada disekelilingnya untuk mencapai suatu kesimpulan, penghayatan batin dan sikap atas peristiwa-peristiwa yang dialami sendiri (jangan ada kesan mengurui). Variasi ragam pengalaman seperti: sukses, gagal, rintangan, kesulitan, tekanan (stress), ketegangan (tension) dan frustrasi hendaknya dihadirkan secara silih berganti dan kadang-kadang perlu dihadirkan secara bersamaan. Hal ini dimaksudkan untuk uji coba seberapa jauh mereka bisa menemukan kendali diri, keuletan, kelenturan dan kesabaran serta kegigihan untuk mencapai prestasi dalam memecahkan masalah tanpa harus menyalahkan pihak lain.
Yang tak kalah pentingnya dalam membentuk karakter yang positif adalah dengan jalan menyulut kehidupan fantasi dan imajinasi setiap individu. Perlu ditekankan pada mereka untuk mencoba membayangkan dalam imajinasinya keberhasilan dalam bidang apa, dan keberhasilan yang bagaimana yang mereka impikan dalam hidupnya Imajinasi ini merupakan suatu spirit yang sangat penting dalam menentukan kegagalan atau keberhasilan seseorang. Merujuk pada teori psikoanalisa, dikatakan bahwa apa yang paling diinginkan, dibatinkan atau dibayangkan untuk terjadi dalam hidupnya; akan mewujud dalam kehidupan seseorang. Jadi jika sejak kecil seseorang bercita-cita (membayangkan dan berkehendak) untuk menjadi artis, peragawati, atau atlit; maka ia akan mengarahkan hidupkan menuju cita-cita tersebut. Demikian juga pada orang dewasa, jika ia berkehendak maka la akan berusaha untuk mewujudkan kehendak tersebut.

Konsep diri yang jelas
Sukses atau gagalnya seseorang dalam menjalani kehidupan antara lain ditentukan oleh jelas atau tidaknya konsep diri. Konsep diri (self concept) merupakan gambaran tentang kesadaran akan diri sendiri yang mencakup kekuatan dan kelemahan yang dimiliki serta harapan kehidupan yang dicita-citakan atau tujuan hidup yang hendak dicapai. Konsep diri sesungguhnya memuat real self (kenyataan tentang diri sendiri) dan ideal self yang memuat sejumlah keinginan, harapan dan gambaran ideal yang diimpikan bisa diwujudkan dalam hidupnya.
Konsep diri yang positif dan realistik akan menjadi landasan bagi munculnya kecenderungan perilaku dan cara berpikir yang positif. Individu yang berhasil mengembangkan Konsep diri yang positif dan realistik akan menjadi pribadi-pribadi dengan watak yang kuat dengan kendali diri internal (internal locus of control). Artinya, ia akan mampu mensikapi semua kesulitan dan kegagalan yang dialami dari perspektif berpikir yang positif yang memposisikan diri sendiri sebagai penentu gagal atau berhasilnya usaha yang dilakukan. Orang dengan konsep diri yang demikian ini akan selalu sanggup memahami kegagalan ataupun keberhasilan sebagai suatu media untuk belajar guna meningkatkan diri.
Sebaliknya, jika individu tidak mampu mengembangkan konsep diri yang positif maka yang terjadi adalah berkembangnya konsep din yang negatif sehingga mereka menjadi manusia dengan watak dan kepribadian yang cenderung berpikir negatif dan bersifat eksternal locus of control (kendali diri secara eksternal). Artinya, setiap mereka menghadapi keberhasilan atau kegagalan tidak pernah dipahami sebagai akibat dari usaha keras yang dia lakukan, melainkan dipahami sebagai akibat dari faktor-faktor di luar dirinya seperti keberuntungan, kesempatan dan sejenisnya. Jika orang berkembang dengan konsep diri negatif, maka ia akan cenderung berpikir negatif pula terhadap diri sendiri, dan suka mengkambinghitamkan lingkungan dalam memahami kegagalan yang dihadapi.

Ekstrapolasi Nilai-nilai kehidupan
Disamping membangun konsep diri yang positif dan realistik, untuk membangun karakter menurut Nugroho (2004) adalah:”...diperlukan pula kesanggupan untuk mengekstrapolasi nilai-nilai kehidupan yang saat ini dimiliki dan dijadikan rujukan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dalam membangun karakter seseorang diperlukan kesanggupan melakukan identifikasi nilai-nilai kehidupan untuk dilakukan evaluasi dan verifikasi; mana nilai-nilai yang relevan dengan harapan dan cita-citanya serta sesuai dengan perubahan jaman dan masyarakat di sekelilingnya. Hal ini mutlak perlu dilakukan dalam setiap upaya membangun karakter, agar dapat dikenali lebih awal mana nilai-nilai kehidupan individu yang tidak mendukung karakter kepribadian yang positif can mana nilai kehidupan yang sudah sesuai dengan karakter kepribadian yang positif...”.
Ekstrapolasi nilai-nilai dan verifikasi nilai pada diri orang yang sudah dewasa cukup mudah untuk dilakukan, karena nilai-nilai kehidupan pada diri orang dewasa relatif sudah jelas dan mapan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana cara merubahnya jika ditemukan ada nilai­-nilai kehidupan yang tidak cocok atau negatif bagi perkembangan watak dan kepribadiannya. Pada kondisi seperti itu diperlukan kesadaran yang mendalam dari individu yang bersangkutan, serta kerja keras yang terus berkesinambungan dan pihak pendamping. Menerima dan mengadopsi nilai-nilai baru memang tidak bisa dilakukan secara langsung can sekaligus secara total. Perlu cara-cara yang sifatnya halus dan perlahan-­lahan namun konsisten dalam jangka waktu yang lama. Mengacu pada teori-teori personality pada mazshab environmentalis, pengubahan atau adopsi nilai-nilai baru juga perlu prakondisi lingkungan yang memungkinkan perubahan tata nilai tersebut dapat berlangsung dan individu tidak mudah berbalik lagi pada nilai-nilai lama. Ringkasnya, untuk menunjang suksesnya proses adopsi nilai-nilai diperlukan pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan nilai-nilai baru.

Sukses story
Mempelajari atau mendengarkan kisah sukses orang lain merupakan salah satu cara untuk membangun karakter. Mengacu pada teori belajar sosial yang diajukan oleh Bandura (1993) dan Nugroho (2004) di nyatakan bahwa:”...suatu perilaku dapat dipelajari dengan cara modelling...”. Artinya, orang-orang yang sukses itu dapat menjadi model atau contoh. Belajar dari keberhasilan orang lain merupakan cara sederhana yang relevan dengan kondisi orang dewasa yang biasanya enggan diajak berteori. Bagi orang dewasa, melihat bukti nyata lebih menarik ketimbang mempelajari beragam teori yang tidak jelas implementasinya. Melalui kisah nyata ataupun bertemu dengan orang-orang yang sudah sukses merintis usaha akan dapat mengilhami, meniru (dengan modifikasi), mengetahui berbagai liku kehidupan untuk menuju sukses. Dari situlah seseorang dapat mengambil hikmah dari setiap peristiwa dan mengadopsi nilai-nilai, cara kerja serta semangat hidup yang menjadi sumber kekuatan seseorang hingga dapat meraih sukses.
Mengikuti kisah sukses dari seseorang, dapat menumbuhkan inspirasi dan keberanian pada diri individu yang semula memiliki karakter penakut atau peragu. Kisah sukses biasanya mengandung liku perjalanan karir seseorang yang tidak selalu langsung menjadi sukses, melainkan sering disertai kisah sedih kegagalan, kehancuran dan ketidakberdayaan. Namun sang tokoh biasanya tidak larut dalam kehancuran melainkan sebaliknya berani bangun berusaha kembali menjadi lebih gigih, lebih hati-hati dan lebih kreatif inovatif. Hal-hal semacam itu akan memberi inspirasi dan spirit baru sehingga mampu membangun karakter kepribadian yang positif bagi siapapun yang menyimak kisah sukses tersebut.

Motivasi Pekerjaan
Dilihat dari segi sifatnya, tentang motivasi menurut: Ikel, (2006; 7) mencakup motivasi yang memberi harapan, menyadarkan, dan upaya paksaan. Motivasi yang memberi harapan yaitu motivasi yang mendorong atau merangsang harapan (expectation), kebutuhan, dan keinginan seseorang atau kelompok untuk melakukan sesuatu. Jenis motivasi ini sering dilakukan dalam bentuk pemberian rangsangan (incentive) dan pemberian penghargaan seperti pujian, hadiah dan peningkatan karir. Motivasi yang bersifat menyadarkan yaitu menggerakkan yang bersifat ajakan (persuasion) sehingga seseorang atau kelompok melakukan kegiatan yang harus dikerjakan. Dalam pelaksanaannya jenis motivasi ini terdiri atas beberapa tahapan kegiatan yaitu : (1) Menarik perhatian. Dalam tahapan ini pihak yang memotivasi (motivator) harus mampu menumbuhkan perhatian seseorang atau kelompok yang dimotivasi terhadap tugas atau kegiatan yang harus dilakukan, (2) Menggugah hati. Dalam kegiatan ini motivator dapat menumbuhkan rasa kebermaknaan pada sasaran yang dimotivasi terhadap nilai-nilai yang terdapat dalam tugas atau kegiatan yang akan dilakukan, (3) Membangkitkan keinginan, dan semangat kerja.




DAFTAR PUSTAKA

Darlan, H.M. Norsanie, 2006. dasar-dasar PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (Di Kuba, Denmark, Cina, Laos, Tanzania dan Jepang), Edisi ke dua, FKIP Universitas Palangka Raya.
------------, 2007. Metoda belajar dan mengajar orang dewasa, Paparkan Pada Orientasi Pembimbing Calon Haji Provinsi Kalimantan Tengah Rabu 11 Juli 2007.
Faisal, Sanapiah, 1981. Pendidikan Luar Sekolah, Di Dalam Sistem Pendidikan dan Pembangunan Nasional, Usana, Surabaya.
Gasan, Ikel, 2006. Character Building, Balai Pengembangan Kegiatan Belajar, Palangka Raya.
Lengrand,  Paul, 1984. Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Gunung Agung, Jakarta.
Moeliono, Anthon, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Kebudayaan RI, Jakarta.
Nugroho, 2004. Character Building, Direktorat Jend. PLS, Depdiknas RI, BPPLS, Semarang.
Poerwadarminta, WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Shadily, Hasan, 1980. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 2, Jakarta.
------------, 1982. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 3, Jakarta.
------------, 1983. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 4, Jakarta.
------------, 1984. Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru, jilid 6, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar