Sabtu, 11 Agustus 2012

FIGUR GURU PROFESIONAL



Oleh:  Prof. Dr. H.M. Norsanie Darlan, MS PH
Guru Besar S-1 dan S-2 Pendidikan Luar Sekolah (PLS)
Universitas Palangka Raya
Materi ini dipaparkan dalam acara Seminar Pendidikan di hadapan guru dan
Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Barito Timur, 7 Agustus 2010

Pendahuluan
Figur guru profesional memang dewasa ini sungguh sedang dicari di kalangan guru, yang akan menjadi sasaran masyarakat, yang menanggapi ada positif dan ada pula negatif.  Secara positif mereka melihat kehadiran guru sebagai figur karena sejak dulu, seorang guru adalah mengantongi pendidikan lebih dari kebanyakan orang. Sehingga perilaku guru perlu ditiru oleh banyak orang. Guru dapat dijadikan sampel pembangunan untuk menciptakan generasi penerus bangsa dimasa mendatang. Sejak zaman penjajahan, seorang guru menjadi objek masyarakat yang perilaku guru ditiru oleh banyak orang. Namun ada kalanyak guru juga mendapat cacian dan hinaan oleh orang tua muridnya sendiri. Kenapa demikian, karena dari segi kehidupan sehari-hari di pedesaan. Guru terlalu pasrah dan dimanja keadaan. Pasrah, guru mau tinggal di rumah-rumah dinas yang kadang kala rumah yang ditempatinya sudah tidak layak huni. Perbuatan seperti ini, membuat sebagian masyarakat menganggap guru yang hidupnya serba kekurangan. Padahal tidak demikian. Guru dibanding jumlah penghasilan rata-rata penduduk di sekitar tinggalnya menduduki penghasilan meenengah ke atas. Guru memiliki penghasil tetap setiap bulan. Apakah pada masa bulan-bulan mengajar atau masa libur sekolah, gajinya tetap selalu dibayar. Namun karena menempati rumah yang terlalu sangat sederhana, membuat murid dan orang tua murid, jadi menganggap guru, orang miskin. Sehingga guru sering tidak dipercaya oleh masyarakat. Murid hanya taat dengan guru sebatas di sekolah, setelah mereka pulang guru kurang dihargai.
Dengan melihat hal-hal di atas, dalam materi ini kita bersama mengupayakan agar kalangan guru memiliki kepercayaan dari masyarakat. Tingkat kepercayaan mereka, bahwa guru dapat dijadikan figur orang yang dipercaya masyarakat. Harapan kita bersama dimasa datang guru menjadi figur di lingkungannya.
Tulisan ini mengambil dari berbagai sumber, apakah dari buku-buku materi kuliah, hasil-hasil seminar dan dari media internet.

Beberapa Pengertian
Dalam bagian ini, penulis menguraikan beberapa pandapat ahli bahasa terhadap judul di atas, yang akan diuraikan secara singkat, sederhana sebagai berikut:
 Bicara tentang arti Figur:  menurut Hasan Alwy (2002; 316) adalah:”...suatu bentuk wujud tokoh peran seseorang dan merupakan sentral yang menjadi pusat perhatian banyak orang...”. Sedangkan Hassan Shadily (1980; 1003) menyebutkan:”...sosok seseorang, bisa juga dalam bentuk benda yang punya bentuk, atau seseorang yang dapat mewakili yang lain-lain...”.  Dengan demikian figur yang diharapkan pada seorang guru adalah tidak lain ia harus menjadi contoh bagi orang banyak sehingga segala sesuatu perbuatannya menjadi panutan bagi orang banyak atau masyarakat.
Arti Guru: menurut: Hassan Shadily (1980; 1188) adalah: guru (India) orang yang mengajarkan tentang kelepasan dari Sangsara (biasanya bersifat gaib). Di pihak lain guru selalu diperlukan; sering kali dipuja sebagai Dewa...”.Sedangkan pendapat Hasan Alwy (2002; 377) adalah:”... orang yang pekerjaannya sehari-hari (mata pencahariannya, profesinya mengajar). Guru terbagi menjadi 2 guru formal tugasnya di sekolah dan tutor (guru) non formal yang tugasnya dalam proses belajar mengajar di PKBM, kursus dan berbagai pelatihan lainnya. Masih ada istilah selain tutor, seperti inspektur, fasilitator dll.
Arti Profesional: Hasan Alwy (2002; 897) adalah:”...bidang pekerjaan yang dimiliki seseorang, dalam sudut pandang lain merupakan kepandaian (keterampilan) khusus seseorang dalam menjalankan tugasnya....”.  Pendapat lain tentang profesional seperti: Hassan Shadily (1984; 2774) adalah:”...orang yang mengerjakan sesuatu karena jabatan atau profesinya, bukan hanya untuk kesenangan saja, tetapi merupakan suatu mata pencaharian dalam mencari nafkah...”. Termasuk juga mereka yang mengemban jabatan fungsional guru, PPL, PLKB, Tutor, Instruktur, dll.

Tanggapan Masyarakat Terhadap PNS
Sungguh memerlukan perhatian yang sangat serius, bahwa masyarakat sejak lama sudah melirik secara satu persatu, terhadap setiap PNS di mana-mana di tanah air kita kita tercinta ini. Mereka melihat senangnya seseorang penjadi PNS. Walau juga mereka maklumi dewasa ini, bahwa menjadi PNS sungguh memerlukan pengorbanan dengan memperoleh dan menempuh pendidikan bertahun-tahun sekolah. Tentu tidak semua warga masyarakat mendapatkannya. Dipihak lain seleksinyapun semakin tahun semakin ketat dan KKN-nya walau masih ada, hanya karena tidak diketahui wartawan. Atau memang para pengambil kebijakan bertahan dengan mempertahakan nepotesmenya.
Warga masyarakat melihat PNS setiap tanggal 1 ia mendapatkan gaji. Tidak masalah apakah ia bekerja atau tidak. Atau datang ke kantor tapi, tidak kerja. Ini sering menjadi cemoohan masyarakat yang mengatakan: ”... mangat ih jadi PNS setiap tanggal 1 dinun gajih. sedangkan ikey amun dia bagawi, kuman narai...”. 
Tanggapan masyarakat itu, mari kita perbaiki kinerja kita, jika ternyata benar. Agar PNS secara keseluruhan tidak terkena getahnya. Sebab tidak semua PNS yang kinerjanya rendah. Tapi yang muncul ke permukaan di kalangan masyarakat tentu yang sering nongkorong di warung kopi disaat jam kerja. Sering ikut melakukan moelimoe. Namun tidak sedikit setiap tahun PNS yang mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena prestasi kerjanya.

Figur publik

Dalam kasus figur publik penting, akan tersedia banyak sumber publikasi pihak ketiga terpercaya yang dapat dijadikan sumber informasi, dan karenanya biografi Wikipedia (2010) seharunya hanya mendokumentasikan apa yang dikatakan oleh sumber-sumber tersebut. Jika suatu isu atau kejadian layak, relevan, dan terdokumentasi dengan baik oleh sumber terpercaya, informasi tersebut dapat dicantumkan — bahkan jika bersifat negatif dan subyek bersangkutan tidak menyukainya.

Contoh: "Joko S. dan Rini S. (2010) bercerai dengan tidak baik-baik". Apakah pernyataan itu layak, dapat diverifikasi dan penting untuk dicantumkan dalam artikel? Jika tidak, jangan cantumkan. Artinya harus betul dan tidak cerita bohong belaka.

Contoh lain: Seorang politisi diisukan berselingkuh. Ia membantah, tapi Kompas mempublikasikan hal tesebut dan menjadikannya skandal publik. Isu tersebut dapat dimasukkan dalam artikel dengan mengutip Kompas sebagai sumbernya. Politisi ini, adalah publik figur di masyarakat. Sehingga ia menjadi masalah.
Materi dari sumber primer harus digunakan dengan hati-hati. Sebagai contoh, catatan publik yang menyertakan detil pribadi seperti harga rumah, registrasi kendaraan, dan alamat rumah atau kantor secara umum sebaiknya tidak digunakan. Jika suatu fakta pertama kali telah dipublikasikan oleh sumber sekunder yang dapat diverifikasi, dapat diterima untuk menggunakan sumber primer untuk mendukung sumber sekunder tersebut. Materi yang berhubungan dengan kelayakannya, seperti catatan pengadilan untuk tokoh yang terlibat dalam perselisihan hukum, diizinkan, sebagaimana halnya tanggal kelulusan, tanggal pernikahan, dan semacamnya, dimana informasi-informasi ini tersedia untuk umum dan informasi tersebut pertama kali dilaporkan oleh sumber sekunder yang dapat dibuktikan.
Publik figur saat tulisan ini diturunkan sedang hangat pembicaraan di media cetak dan elektronik tentang Aril dan Luna Maya. Mereka adalah orang yang disanjung-sanjung kalangan muda. Tiba-tiba beredar rekaman pornografi yang sebetulnya bertentangan dengan budaya dan agama di publikasikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Membuat nasib mereka ini jadi turun ke titik 0. Hal seperti ini figur guru pun akan terjadi jika hal-hal itu ia lakukan dengan berbagai bentuk. Termasuk masalah moelino.

Figur non-publik

Wikipedia (2010) juga memuat biografi tokoh yang walaupun cukup layak sebagai isi tulisan artikel, berhak dihargai privasinya sebagai figur non-publik. Pada kasus semacam ini, kontributor harus membatasi diri dan hanya mencantumkan informasi yang relevan bagi kelayakannya. Materi dari sumber primer secara umum sebaiknya tidak digunakan kecuali jika sebelumnya telah dicantumkan pada sumber sekunder yang dapat diverifikasi.
Pada kasus abu-abu, pedoman utama adalah "tidak merugikan". Wikipedia (2010) adalah:”...suatu ensiklopedia, bukan tabloid. Bukanlah tugas kita untuk menimbulkan sensasi, atau menjadi kendaraan utama untuk menyebarkan isu mengenai kehidupan seseorang...”.
Guru jangan Gaptek
Sudah tidak waktunya lagi bila sebagai guru, yang kurang memanfaatkan kemajuan tekhnologi. Tahun 1991 penulis pernah diundang oleh seorang kepala sekolah menengah atas di salah satu kabupaten induk dewasa ini di kalimantan tengah. Dalam menjawab kesediaan memberikan materi, penulis meminta dan bertanya apa ada di sekolah yang sdr pimpin itu media belajar bernama OHP. Sang kepala sekolah menjawab ada, lengkap.
Dengan demikian, maka materi sajian dipersiapkan dari Palangka Raya selain bahan tertulis, juga kertas transfaran. Namun sangat disayangkan sudah 45 menit waktu terlalui, kok belum tersedia alat media belajar seperti OHP yang diharapkan. Ternyata guru-guru SLTA saat itu masih belum banyak yang mengenal OHP. Kepala sekolahpun meminta maaf bahwa OHP yang ia katakan itu sudah tiada. Dipihak lain, penulis bertanya kepada TU penjaga gudang mengatakan ada, ia segera mengambil. Namun OHP tersebut sejak diterima sekolah sampai hari itu, baru pernah dibuka. Walau sudah sarang laba-laba disertai debu yang tebal menempati OHP tersebut, ternyata tidak semua guru juga tahu bahwa di sekolah mereka tersedia 3 OHP yang nongkrong, karena mareka tidak bisa menggunakannya.
Dengan kemajuan IPTEK dewasa ini, guru harus lebih dahulu tahu media belajar terkini di banding masyarakat dalam penerapan bahan belajar siswa. Agar teknologi pembelajaran tidak terkesan tadisional, maka para guru diharapkan membuat bahan ajar yang     sesuai dengan zamannya. Hal senada dikemukakan oleh Fathurraji dan Sagitaria Ningrum, (2010) yang menekankan agar guru tidak gagap teknologi (gaptek) di kelas.
Standar Pelayanan Publlik
Kepuasan masyarakat/pelanggan adalah terpenuhinya keinginan dan kebutuhan pelanggan. Jika hal ini guru sebagai sasaran, berarti orang tua dan murid. Suatu pelayanan dinilai menuaskan, bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dari harapan pelanggan. Apabila pelanggan merasa tidak puas, terhadap suatu pelayanan yang disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efesien.
Bila kita memperhatikan standar pelayanan adalah suatu tolok ukur yang dipergunakan untuk acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kometmen atau janji dari pihak penyedia pelayanan kepada pelanggan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Sedangkan pelayanan berkualitas adalah pelayanan yang cepat, menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, serta mengikuti proses dan prosedur yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Jadi pelayanan yang berkualitas tidak hanya ditentukan oleh pihak yang melayani, tetapi juga pihak yang ingin dipuaskan ataupun dipenuhi kebutuhannya. Kebutuhan orang tua, anak, terhadap anaknya agar naik kelas dan berprestasi.
Standar pelayanan dapat juga bermanfaat untuk melakukan perbaikan kinerja pelayangan publik. Perbaikan kinerja pelayanan publik mutlak harus dilakukan, dikarenakan dalam kehidupan bernegara pelayanan publik menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi utama pemerintah adalah memberikan dan menfasilitasi berbagai pelayanan publik yang perlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan ataupun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masysrakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, sosial  dan lainnya.

Undang-Undang Guru dan Dosen
Bila kita melirik terhadap Undang-Undang Guru dan Dosen. Pasti memberikan harapan besar terhadap masa depan guru dan dosen yang sungguh menggembirakan. Kita pastri pernah mendengar keluhan orang terhadap istilah: ”Oemar Bhakri”, yang dalam hampir setengah abad silam, pekerjaan guru adalah pilihan paling akhir orang dalam mencari kerja. Syukur kalau dosen, mahasiswa berprestasi terlebih dahulu dirangkul untuk dijadikan dosen. Yang nilai dibawahnya biarlah mereka cari kerja ke non dosen.
Bila kita melirik terhadap UU RI 14 /2005, dewasa ini lapangan kerja diperebutkan cenderung ke guru dan dosen. Mereka yang tidak pernah kuliah jadi calon guru sekalipun cara sertifikat akta dari mana agar bisa jadi guru. Hal ini dilatar belakangi masa depan guru sungguh menggembirakan. Karena akan mendapatkan tunjangan fungsional sangat menjanjikan. Untuk guru 1 x juga pokok dan dosen 2 x gaji pokok. Dan khusus untuk Profesor mendapatkan 3 x gaji pokok, ditambah tunjangan kehormatan dan profesi.
Dipihak lain ada pula kendala, tidak semua guru dan dosen dapat meraih hal-hal di atas. Sebab guru  kesulitan kalau tidak memiliki ijazah sarjana. Dosen dituntut minimal S2 yang sebaiknya linier. Artinya guru masa berijazah sarjana ekonomi tentunya harus S.Pd. S2 harusnya M.Pd bukan gelar-gelaran. Tanpa hal-hal di atas, tentu kesulitan meraih tunjangan yang kita harapkan. Dan ada pertanyaan bagaimana yang sarjana lain? Tentu harus dipikirkan dahulu. 
Menjadi celaan
Adalah sangat disesalkan, jika seorang guru terlibat dalam kegiatan minum minuman keras, perjudian dan lain seagainya. Disadari atau tidak, jika seorang guru yang bakal dijadikan publik figur di masyarakat, melakukan perbuatan seperti berjudi. Telepas apakah faktor pengsaruh budaya ataukah memang disengaja. Tentu saja hal ini, menjadi sebuah perbuatan yang kurang menyenangkan di masyarakat. Kenapa ?, karena masyarakat berharap anak mereka bersekolah diharapkan masa depannya lebih baik dari orang tua mereka. Namun kalau warga masyarakat melihat guru anaknya melakukan perbuatan seperti minum baram, bir dsb dan ternyata mabuk. Maka lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap guru dan sekolah itu. Demikian juga jika seorang guru melakukan perjudian  apakah factor budaya ataukah hal-hal lain, maka perbuatan itu dapat menjadikan anggta PGRI ini, tercemar di mata masyarakat.

Guru Baru Ditentang Kalangan Guru
Tahun 2005, penulis saat itu selain sebagai guru besar PLS, juga dipercayakan gubernur sebagai kepala Badan Diklat Provinsi Kalimantan Tengah. Saat memberikan pembekalan kepada para calon pegawai negeri sipil (CPNS) di kabupaten Kotawaringin Barat, kepala Dinas pendidikan dan pengajaran memohon kepada penulis untuk menyediakan waktu guna bertatap muka dengan para guru dan Kepala-kepala sekolah.
Pertemuan ini, ternyata terjadi keberatan bagi berbagai lapisan kaum guru dan kepala sekolah terhadap para sarjana lain (berpendidikan non guru)   yang memiliki setifikat  akta IV menjadi guru. Para guru merasakan mengikuti kuliah 4 – 5 tahun kuliah di IKIP ataupun FKIP mereka yang dididik menjadi guru. Sementara sarjana lain non guru memiliki akta IV ikut tes ternyata dapat masuk jadi guru. Dan tidak menutup kemungkinan membuat kalangan tertentu kaget melihatnya. Dipihak lain, mereka tidak punya keterampilan mengajar di depan kelas. Sehingga membuat pertanyaan besar mengapa mereka bisa masuk dan lulus. Sementara yang kuliah 4 – 5 tahun ada yang gagal masuk karena: “… fator ex…”.
Para guru juga direpotkan oleh mereka yang tidak punya bekal jadi guru, karena guru-guru seneor direpotkan dari guru non IKIP/FKIP ini, karena mereka tidak terbiasa membuat satuan acara pelajaran (SAP) atau istilah lain sekarang rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).
Dari berbagai hal itu, para mereka ini walau kelompoknya sangat kecil, mendapat tantangan besar dari anggota PGRI.
                  
Profesional
           Ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis, profesionalisme menjadi taruhan. Sebab, menurut: Eko Prasetyo (2008) bawah tuntutan itu merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif. Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional.
Karena itu, Sudarwan (2003) menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut. Sebab, dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan, dia hadir sebagai subjek yang paling diandalkan. Istilah profesional berasal dari profession yang artinya sama dengan pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Maka, para profesional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan khusus untuk pekerjaan itu.
Salah satu tuntutan guru profesional adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa. Karena itu, guru profesional perlu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin, banyak siswa yang menyukai hiburan. Namun, mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi kebanyakan siswa, belajar adalah membosankan atau menjenuhkan. Mereka merasa bahwa kelas seperti penjara. Berdasar evaluasi tentang hal tersebut, sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi ”pekerjaan rumah” bagi para guru, khususnya guru profesional.

Pelayanan Prima
Masyarakat dewasa ini, sangat menantikan adanya pelayanan prima di berbagai bidang. Kalangan guru tentu ditunggu-tunggu oleh masyarakat bagaimana mereka memberikan pelayanan prima terhadap orang tua murid yang selalu mendambakannya.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana bentuk pelayanan prima guru terhadap masyarakat, termasuk para orang tua murid. Pelayanan prima yang dinantikan masyarakat, tentu tidaklah dapat secara spontan dapat kita laksanakan. Namun pelayanan perima akan kita nantikan tidaklah sebenarnya terlalu sulit. Misalnya dalam hal pemberian bimbingan pada anak, sehingga anak yang kurang mencerna dalam proses belajar, terjadi perubahan pada  anak dari sebelumnya, sebagai akibat merdapat pelayanan dari guru. Cara lain dengan memberikan bimbingan belajar anak dalam mata pelajaran tertentu. Pertanyaan lain, bagaimana kalau anak yang membangkan terhadap proses belajar mengajar di sekolah ?

Terima TPP
Banyak masalah di kalangan guru dalam hal menerima tunjangan Profesi Pendidikan. Hal ini terjadi karena dengan banyaknya tenaga guru, dan tidak semua tenaga guru yang mau mengikuti proses seperti yang diharapkan.
Dalam makalah ini penulis mengangkat kasus kota Surabaya Yusuf Masruh (2010) yang jumlah guru berkisar 4000 orang  seribu orang lainnya bermasalah karena tidak mau menyerahkan nomor rekening Bank yang ia miliki. Selain hal itu ada 3000 guru non PNS. Kalau dijumlah guru di Jawa timur sebanyak 10.032 orang.
Mereka yang punya hak untuk menerima tunjangan profesi pendidikan ini, tentu saja melalui proses yang panjang. Seperti sertifikasi dan berbagai persyaratan lainnya. Termasuk kita di Kalimantan Tengah.
Dengan adanya tunjangan profesi pendidikan ini, diharapkan guru tidak lagi dipandang sebelah mata oleh kalangan tertentu. Masa kurun waktu setengah abad berlalu, guru memang pilihan paling akhir bagi sebagian orang.  Mereka yang memilih jadi guru banyak karena keterpaksaan. Hanya sebagian kecil yang karena tuntutan emosional dari dalam dirinya. Selebihnya karena tidak dapat kerja di tempat lain, maka memilih jadi guru.
Bagaimana di Kalimantan Tengah, saat tulisan ini naik cetak, kasus yang hampir sama juga terjadi. Informasi yang menyejukkan dari Kalimantan Tengah bahwa guru tunjangan tunjangan profesi pendidikan dibayarkan bulan agustus 2010. Semoga hal itu benar. Alasannya memang keterlambatan anggaran dari pusat, sehingga membuat harap-harap cemas kepada setiap guru di tanah air tercinta ini.
Dewasa ini pekerjaan profesi guru dalam 5 – 10 tahun mendatang akan  terjadi perubahan besar. Guru diharapkan bagaikan ”Oemar Bakri”, mulai terabaikan. Hal ini perlu perbaikan dan masalah itu lambat laun akan hilang sendiri.


Profesionalisme Guru  Dalam Mennghadapi Globalisasi
Pendidikan nasional dewasa ini dihadapkan pada empat krisis pokok, yakni kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebih rinci Tilaar menyatakan bahwa ada tujuh masalah pokok dalam sistem pendidikan nasional, yaitu:
(1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik;
(2) pemerataan kesempatan belajar;
(3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan;
(4) status kelembagaan;
(5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan
    pembangunan nasional;
(6) sumber daya manusia yang belum profesional.
Beberapa permasalahan yang dari dulu sampai saat ini dihadapi sektor pendidikan, antara lain: pertama, pemerataan dan perluasan pendidikan dasar dan menengah; kedua, rendahnya mutu pendidikan; ketiga, relevansi pendidikan yang belum maksimal; keempat, manajemen pendidikan yang masih rendah; dan kelima, pembiayaan pendidikan yang belum memadai.
           
Pendidikan nasional juga dihadapkan pada beberapa masalah:
(1) pendidikan belum secara terencana dan sistematik deber-dayakan untuk berfungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal;
(2) pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional, dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh iptek dan persaingan global, belum sepenuhnya terlaksana;
(3) pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditas yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan sistem perdagangan;
(4) pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengem-bangkan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria, dan patriotik.
Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa problematika pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain adalah sebagai berikut:
1.Dalam rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
2. Paradigma pendidikan baru dapat dikatakan berhasil jika dapat memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetitif.
3.Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai perintis masa depan yang mengacu pada prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka.
4.Anggaran pendidikan khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersumber dari APBD kabupaten/kota dan provinsi maupun yang bersumber dari APBN relatif masih kecil, meskipun dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan anggaran pendidikan minimal 20% dari keseluruhan APBN.
5. Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan (need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan kemauan birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
6.Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah Menengah dan Kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah.
Terlepas dari semua permasalahan pendidikan nasional tersebut tentunya kita sama-sama setuju bahwa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik (guru) terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :
1) Subjek yang dibimbing (peserta didik). Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung
     menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.
2)   Orang yang membimbing (pendidik).
      Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, danmasyarakat/organisasi.
3)  Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
     Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaiantujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasikan isi, metod, serta alat-alat pendidikan.
4)  Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
    Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.
5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pen-didikan).
      Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokalmisinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan.
6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
      Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alatmelihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektivitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.
7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
      Lingkungan pendidikan biasa disebut tri-pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. (Makagiansar, 1992) Profesionalisme guru, tentu harus terkait dan dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru, dengan demikian guru dapat menghadapi globalisasi. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat. Penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks, menyangkut kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru. Penilaian harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi pada bidang kependidikan. Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru.
Dalam era Globalisasi, profesionalisme guru dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai berikut:
1.Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2.Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3.Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada
    peserta didik;
4.Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut
   melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam
   proses interaksi dengan sasaran didik;
5.Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang mencipta-kannya).
    Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gagne dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup:
1.      Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2.      Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3.      Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk dapat bersaing dalam era reformasi sehingga pendidikan di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran antara lain adalah mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas, dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan”. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” [Naniek Setijadi, From: http://tpj. bpk penabur. or.id/..., , akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15].
        Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent). Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis. Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1.Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2.Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3.Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang
   harus diajarkannya;
4.Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5.Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6.Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7.Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai:
1.Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2.Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3.Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4.Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik;
5.Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
   Rendahnya kualitas tenaga kependidikan, khususnya guru pada era globalisasi saat ini merupakan masalaah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Katakan saja sebagai contoh, motivasi menjadi tenaga pendidik [guru] di kebanyakan sekolah-sekolah selama ini dikarenakan dan hanya dilandasi oleh faktor pengabdian dan keikhlasan, sedangkan dari sisi kemampuan, kecakapan dan disiplin ilmu dikatakan masih rendah [baca, Hujair, 2003: 226]. Hal ini, menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan tentu mengalami kesulitan untuk memiliki keunggulan kompetitif. Maka, masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia pada dasarnya adalah masalah yang terkait dengan faktor kualitas tenaga guru [Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, 25 Juli 2001]. Fazlur Rahman, menyatakan Indonesia, seperti halnya negera-negara berkembang lainnya, juga menghadapi masalah pokok dalam menghadapai globalisasi saat ini : yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset. Lanjut Fazlur Rahman, bagaimana memproduksi tenaga seperti itu [Fazlur Rahman,1985:151]. Pandangan ini, menjadi tantang dan persolan bagi pendidikan di Indonesia untuk berusaha membangun kualitas sumber dayanya.
Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era  global, informasi dan reformasi pendidikan. Indikator perubahan sekarang yang dapat diamati adalah sebagian guru mulai melanjutkan pendidikannya kejenjang S-2, sekolah-sekolah mulai menerapkan KTSP dan sudah berbenah menuju ”manajemen berbasis sekolah” [MBS] yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah. Dengan demikian, ”sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat” [E. Mulyasa, 2002:24]. Maka, dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, menuntut sumber daya [pimpinan, guru, dan tenaga administrasi] yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Pelaksanaan program-program pendidikan didukung dengan kepemimpinan yang demokratis dan profesional, guru-guru yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, serta tenaga administrasi profesional dalam pengelolaan administrasi pendidikan [Hujair, 2003: 226]. Laporan Bank Dunia [1999], bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan [persekolahan] di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan [dalam Hujair, 2003:226].
Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar terus menurut untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik [guru] merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu diperhatikan. Dengan kata lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi para guru jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan, karena apabila gagal dalam investasi guru akan berakibat patal [Hujair, 2003: 227] dalam persaingan merebut animo pengguna pendidikan sebagai pengakuan terhadap kualitas lembaga pendidikan tersebut. Sebagai contoh, indikator pengakuan terhadap kualitas dan kemampuan guru, bukan hanya datang dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga dari jenjang karir fungsional seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar yang rigid, tetapi reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan dan penghargaan yang diberikan langsung oleh masyarakat, karena kemampuan akademik dan profesionalisme guru [Onno W. Purbo,16 Mei 2002] itu sendiri. Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat profesional yang memiliki kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetensi guru. Jika dilihat dari segi psikologis guru yang merasa dirinya mempunyai kompetensi yang tinggi akan merasa percaya diri menghadapi masyarakat.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai:
1.Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
        2.Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
        3.Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
        4.Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan untuk membuat suatu hal yang baik; dan
        5.Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
       Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
           Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Dalam era global saat ini, jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk, sehingga dia tidak mampu bersaing secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung, sehingga diharapkan guru akan berperan lebih profesional sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang dalam menghadapi globalisasi saat ini.

Bagaimana Menjadi Guru yang Bermutu
Arni Hayati (2010) Guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan.
 [1]Dalam proses pendidikan di sebuah sekolah, misalnya sekolah Islam, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, mandiri, dan berakhlak mulia. Syaiful Bahri Djamarah dalam Psikologi Belajar berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional.
[2] Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
      Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Zainal Aqib, guru merupakan faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di lembaga pendidikan Islam, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar.
[3] Lebih lanjut dia menyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu suatu proses pendidikan di lembaga pendidikan.
[4] Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan atau kompetensi profesional dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan. Kompetensi profesional guru dalam hal ini guru lembaga pendidikan SDN, termasuk Madrasah Ibtidaiyah negeri maupun swasta di wilayah Jakarta masih relatif rendah. Berdasarkan hasil Tes Kompetensi Guru yang dilakukan Depertemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama yang bekerja sama dengan Pusat Penilaian Pendidikan pada Tahun 2003, menunjukkan bahwa rata-rata nilai kompetensi guru di wilayah Jakarta hanya mencapai 42,25 %. Angka ini masih relatif jauh di bawah standar nilai kompetensi minimal yang diharapkan yaitu 75 %.

Profesional
            Ketika menghadapi tuntutan-tuntutan pembelajaran demokratis, profesionalisme menjadi taruhan. Sebab, menurut: Eko Prasetyo (2008) bawah tuntutan itu merefleksikan suatu kebutuhan yang kian kompleks dari siswa, tidak sekadar kemampuan guru menguasai pelajaran semata, tapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis, dan produktif. Tuntutan demikian hanya bisa dijawab oleh guru yang profesional.
Karena itu, Sudarwan (2003) menegaskan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut. Sebab, dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan, dia hadir sebagai subjek yang paling diandalkan. Istilah profesional berasal dari profession yang artinya sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Maka, para profesional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan khusus untuk pekerjaan itu.
          Salah satu tuntutan guru profesional adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa. Karena itu, guru profesional perlu menciptakan situasi pembelajaran yang bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin, banyak siswa yang menyukai hiburan. Namun, mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi kebanyakan siswa, belajar adalah membosankan atau menjenuhkan. Mereka merasa bahwa kelas seperti penjara. Berdasar evaluasi tentang hal tersebut, sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi ”pekerjaan rumah” bagi para guru, khususnya guru profesional.

Tunjukkan Komitmen pada Pendidikan
Pemerintah telah menaikkan gaji guru secara signifikan. Kini, sudah seharusnya guru menunjukkan komitmen dalam dunia pendidikan. Karena banyak guru yang mencoreng profesi itu, sudah selayaknya pemerintah mengawasi kinerja guru dan meningkatkan profesionalisme guru dengan melakukan berbagai pembinaan dan pelatihan. Artinya, kualitas guru harus meningkat.
Jika tidak, mereka harus dikenai sanksi, terdegradasi menjadi pegawai biasa, atau bagian administrasi karena tidak pantas menjadi seorang guru. Jangan sampai predikat terhormat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa tercoreng menjadi ”pahlawan” tanpa jasa.

           Kenaikan gaji guru juga harus diakui menimbulkan kecemburuan sosial bagi abdi negara lain, yang sama-sama PNS tapi gajinya berbeda. Di antaranya, paramedis. Mereka jarang sekali punya kesempatan berunjuk rasa menuntut kenaikan gaji. Waktu mereka habis untuk bekerja dan sisanya untuk beristirahat.

         Wajar jika mereka cemburu karena siang malam harus bekerja mengurusi warga yang sakit, bahkan termasuk saat Lebaran atau PNS lain libur. Sementara itu, guru cukup mengajar di siang hari masih ditambah libur-libur lain yang melebihi PNS lain.
Di sisi lain, untuk menghilangkan kecemburuan sosial bagi PNS nonguru, perlu ada keseragaman penggajian di antara PNS, baik yang bertugas di desa maupun di kota, termasuk anggota TNI. Sebab, semua profesi juga layak menyandang predikat pahlawan, tentunya jika bekerja secara profesional, tidak hanya guru.

Sikap, Mutu, dan Profesionalisme Guru
Pada dasarnya tingkat kompetensi profesional guru dipengaruhi oleh faktor dari dalam guru itu sendiri, yakni bagaimana guru bersikap terhadap pekerjaan yang diemban. Sedangkan faktor luar yang diprediksi berpengaruh terhadap kompetensi profesional seorang guru, yaitu kepemimpinan kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pemimpin guru di lembaga pendidikan.
Sikap guru terhadap pekerjaan merupakan keyakinan seorang guru mengenai pekerjaan yang diembannya, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada guru tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara tertentu sesuai pilihannya. Sikap guru terhadap pekerjaan mempengaruhi tindakan guru tersebut dalam menjalankan aktivitas kerjanya. Bilamana seorang guru memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya, maka sudah barang tentu guru akan menjalankan fungsi dan kedudukannya sebagai tenaga pengajar dan pendidik di lembaga pendidikan Islam dengan penuh rasa tanggung jawab.
Demikian pula sebaliknya seorang guru yang memiliki sikap negatif terhadap pekerjaannya, pastilah dia hanya menjalankan fungsi dan kedudukannya sebatas rutinitas belaka. Untuk itu, amatlah perlu kiranya ditanamkan sikap positif dan profesionalisme guru terhadap pekerjaan, mengingat peran guru dalam lingkungan pendidikan dalam hal ini lembaga pendidikan amatlah sentral.
Sikap guru terhadap pekerjaan dapat dilihat dalam bentuk persepsi dan kepuasaannya terhadap pekerjaan maupun dalam bentuk motivasi kerja yang ditampilkan. Guru yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaan, sudah barang tentu akan menampilkan persepsi dan kepuasan yang baik terhadap pekerjaan-nya maupun motivasi kerja yang tinggi, yang pada akhirnya akan mencerminkan seorang guru yang mampu bekerja secara profesional dan memiliki kompetensi profesionalisme yang tinggi.
Sikap positif maupun negatif seorang guru terhadap pekerjaan tergantung dari guru bersangkutan maupun kondisi lingkungan. Menurut Walgito (2010), sikap yang ada pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal, yaitu berupa situasi yang dihadapi individu, norma-norma, dan berbagai hambatan maupun dorongan yang ada dalam masyarakat.
Lembaga pendidikan sebagai organisasi, di dalamnya terhimpun unsur-unsur yang masing-masing baik secara perseorangan maupun kelompok melakukan hubungan keja sama untuk mencapai tujuan. Unsur-unsur yang dimaksud, tidak lain adalah sumber daya manusia yang terdiri dari kepala sekolah, guru-guru, staf, peserta didik atau siswa, dan orang tua siswa. Tanpa mengenyampingkan peran dari unsur-unsur lain dari lembaga pendidikan Islam, kepala sekolah dan guru merupakan personil intern yang sangat berperan penting dalam menentukan keberhasilan pendidikan di sebuah lembaga pendidikan Islam. Keberhasilan suatu lembaga pendidikan pada hakikatnya terletak pada efisiensi dan efektivitas penampilan seorang kepala sekolah dan profesionalisme gurunya.

Konsep Peradaban
Achmad Mubarok, (2010) Kebudayaan yang bersifat kota disebut peradaban. Kota mengandung arti modern, praktis, dan efektip, sementara desa mengandung konotasi tradisionil,berliku yang oleh karena itu lambat. Dalam membangun peradaban manusia dengan konsep al Madinah al Munawwarah, dari kata tamaddun dan nur. Madinah artinya kota yang penghuninya memiliki kebudayaan yang tinggi. Al munawwarah artinya yang disinari. Jadi konsep al madinah al munawwarah adalah masyarakat yang berkebudayaan tinggi yang disinari oleh wahyu.
Setiaphari dalam semua aspek kehidupannya adalah guru, bukan hanya pengajar. Pengajar mengajarkan ilmu pengetahuan. Ukuran keberhasilan pengajar adalah jika murid yang diajar mengerti akan ilmu yang diajarkan. Tingkatan pengertian murid dapat diukur dengan nilai ujian . Guru mentrasfer perilaku kepada murid. Ukuran keberhasilan seorang guru adalah jika muridnya berperilaku seperti yang dicontohkan oleh guru.oleh karena itu guru yang berkualitas adalah yang bisa di guru dan bisa ditiru oleh muridnya.
Artikel yang ditulis Muhammad Agus Safii (2010) Sebagai seorang guru yang sudah lebih dari 15 tahun mengabdi di dunia pendidikan, saya merasakan benar kalau banyak teman-teman seprofesi yang belum memahami profesinya sebagai guru. Belum merasakan betapa mulianya menjadi seorang guru. Namun sangat disayangkan, bila kemuliaan itu menjadi hina karena banyak teman-teman guru yang tak segera meng-updateilmunya. Tak pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya. Terus belajar sepanjang hayat.
Komentar Tentang Guru
Belajar dari guru yang terus membaca, rasanya seperti minum air segar. Namun, belajar dari guru yang tak lagi membaca, seperti minum air comberan.
Tulisan ini serasa menohok ke ulu hati. Membuat saya harus senantiasa membaca dan tidak dihujat sebagai guru yang meminum air comberan. Dan  kita harus memberikan minuman segar kepada peserta didik saya dengan banyak membaca. Membaca hal-hal yang terus berkembang baik lewat buku, maupun media lainnya.
Memegang amanah menjadi guru profesional serasa berat. Sebab guru dituntut untuk terus menerus melakukan kreasi dan inovasi dalam pembelajarannya. Membuat para peserta didik senang dengan apa yang dipelajarinya sehingga bermakna dalam kehidupan nyata.
Harus diakui, telah terjadi kesalahan pengelolaan pembe-lajaran dari beberapa teman guru yang masih memiliki paradigma lama. Selalu menganggap lebih super daripada peserta didiknya. tak mengenal kata dialog, yang ada hanyalah monolog. Guru mengajar, murid diajar. Tak lebih dari proses kegiatan itu. Padahal, di dalam pembelajaran yang benar, guru dan murid sama-sama belajar, sama-sama melakukan proses interaksi dalam pembelajaran yang menantang. Pembelajatan yang mengundang para peserta didiknya untuk aktif  dalam memahami materi pelajaran.


Tidak Plagiatisme
Seorang guru baru dapat disebut ”guru profesional” kalau dia memiliki learning capability, yaitu kemampuan mempelajari hal-hal yang harus dipelajarinya, hal-hal yang perlu dipelajarinya, dan hal-hal yang tidak perlu dan tidak dapat dipelajarinya. Kemampuan-kemampuan tumbuh dari pengetahuan tentang dirinya sendiri, siapa dirinya sebenarnya, dan mengetahui pula pribadi-pribadi bagaimana yang tidak mungkin dicapainya. Ditirunya, ya, tetapi dicapainya (verpersoonlijkt), tidak! Singkatnya, guru profesional adalah orang yang tahu diri. Orang yang tahu diri tidak akan melakukan plagiat. Karena plagiat adalah “…melanggar etika ilmiah…”.
Mendapatkan kesan bahwa esensi profesionalitas guru ini tidak pernah dijelaskan kepada guru-guru yang ingin maju, guru-guru yang benar-benar ingin memahami tugasnya dan memperbaiki kinerjanya. Kesan saya lagi, yang ditekankan dalam usaha-usaha peningkatan kemampuan (upgrading) adalah pengetahuan tentang kementerengan guru profesional. Hal-hal yang berhubungan dengan kosmetik keguruan profesional. Guru-guru muda yang baru selesai ditatar jadi guru profesional tampak ganteng (handsome) atau cantik, tetapi tidak memancarkan kesan keprofesionalan yang mengandung wibawa.
Malu rasanya mendapatkan kritikan tajam seperti ini, tetapi ini real terjadi dalam dunia pendidikan kita. Tulisan Mochtar Buchari (2010)  Sedikit sekali guru yang tahu diri. Guru yang senantiasa memperbaiki kinerjanya sebagai guru dengan melakukan penelitian Tindakan kelas (PTK). Berusaha memperbaikinya dengan berbagai tindakan perbaikan, yang dimulai dari sebuah perencanaan yang matang melalui RPP (Rencana pelaksanaan pembelajaran) yang dibuat sendiri, melakukan tindakan yang menantang melalui berbagai metode pembelajaran lalu mengamati prosesnya dengan melakukan kolaborasi dengan teman sejawat. Dari kolaborasi itulah guru melakukan refleksi diri dan mengatakan kepada dirinya sendiri, ”benarkah apa yang telah saya lakukan?”. Bila itu terus dilakukan oleh guru, dan berujung kepada keberhasilan guru menemukan potensi unik anak didiknya, maka didapatkanlah keberhasilan guru dalam pembelajaran.
Sayangnya, masih sangat jarang guru yang melakukan PTK ini, sehingga terjadi plagiat di sana-sini. “Copas” dari satu guru ke guru lain tanpa melakukan penelitian langsung dan tak melalui proses membaca dan meneliti. Padahal proses yang benar dari sebuah penelitian adalah dimulai dari melihat, membaca, meneliti, menulis, dan melaporkan.
Sayangnya, banyak guru yang melakukan plagiarisme. Di sanalah pada akhirnya, penelitian guru yang dilakukan hanya masuk almari perpustakaan, tak berkembang dan tak tersebarluaskan karena budaya meneliti belum terjadi. Khasanah ilmu pendidikan baru seperti mati suri karena miskinnya inovasi.
Diskusi ilmiah guru masih sangat jarang dilakukan. Padahal ini adalah pintu gerbang kesuksesan guru dalam melaporkan hasil penelitiannya. Berusaha saling bersinergi antara guru satu dengan yang lainnya. Saling melengkapi dan tidak merasa bahwa pelajarannyalah yang paling penting dipelajari. Maklum pelajaranya itu selalu masuk dalam ujian nasional. Pelajaran primadona yang membuat siswa menghabiskan waktunya hanya untuk pelajaran primadona itu. Pendidikan karakter terlupakan, apalagi pendidikan kewirausahaan.
Membaca judul artikel Guru profesional dan Plagiarisme di koran kompas hari ini, membuat saya tersadarkan akan pentingnya inovasi guru di dalam pembelajaran. Melakukan penelitian di kelasnya sendiri dan melaporkannya dalam bentuk PTK. Bila itu dilakukan dengan jalan yang benar, maka tak akan mungkin plagiarsme terjadi dalam karya tulis guru. Sebab apa yang melatar belakangi penelitian dan masalah  penelitian yang dihadapinya akan terpecahkan bila guru banyak membaca. Lalu mencobanya dengan melakukan PTK.
Guru profesional memang enak terdengar di telinga, tetapi serasa berat untuk dijalankan karena beban moral yang harus dijaga. Mohon doa dari para pembaca agar saya bisa menjadi guru profesional sesuai harapan masyarakat, dan pemerintah.







Daftar Pustaka

Alwy, Hasan, 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke tiga, Departemen pendidikan Nasional , Balai Pustaka, Jakarta.
Buchori, Mochtar, 2010. Plagiatisme di karya tulis ia haram, (Internet)
 Eko Prasetyo (2009) Menyoal tentang Guru, tentang Profesionalnis, artikel , Jakarta.
Farurraji dan Ningrum, Sagitaria, (2010) Menyusun Rencana Pelajaran, di Sekolah, KalTeng Post, 24 Juli 2010, Pangkalan Bun. 
Haryati ,Arni, 2010. 2010 GURU BERMUTU PENDIDIKAN JUGA BERMUTU Sebuah Harapan Sekaligus Tantangan bagi Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta.
Masruh, Yusuf, 2010. Banyak guru belum setor rekening, Kabid Kenenagaan Kota Surabaya.
Moeliono, Anthon, dkk, 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kementrian Pendidikan Nasional, Jakarta;
Mubarok, Achmad, 2010 Disampaikan dalam Seminar Pendidikan yang diselenggarakan oleh Kelompok KerjaPengawasPendidikan Kandepag Jakarta.
MGuru Profesional dan Plagiarisme, sebuah kajian yakarta.
Prasetyo, Eko, 2008. Menyoal Profesionalisme Guru, Internet pigur guru professional;
Poerwadarminta, WJS, 1986. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustakan, Jakarta;
Wikipedia (2010).
Sjadzili , Ahmad Fawaid 2010. Figur penomena pembangunan, sebagai intektual Arab, Jakarta.
Sudarwan, 2003. Menyoal Profesionalisme Guru, Internet pigur guru professional;
Safii, M. Agus, 2010. Mengabdi dalam dunia pendidikan, (internet)
Supriadi, Anwar, 2003. Standar Pelayanan Publik, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.
Surya, Muhamamad, 1997. Peran Guru di sekolah, UPI Bandung,  (Internet).
Shadily, Hassan, 1980. Ensiklopedi Indonesia, jilid 2, Ichtiar Baru, Jakarta.
------------, 1984, Ensiklopedi Indonesia, jilid 5, Ichtiar Baru, Jakarta.
S. joko Dan S. Rini  (2010). Guru Sebagai Publik Pigur di Tanah Air, Internet, Kompas, Jakarta.
Undang-Undang RI, 2005. Nomor 14, tentang Guru dan Dosen, Balai Penerbit Dharma Bhakti, Jakarta..
Walgito, 2010. Kondisi Pendidikan guru perlu diperhatikan, (Internet)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar