Kamis, 28 Juni 2012

Ijazah Aspal Melanggar Undang-Undang

oleh:
H.M. Norsanie Darlan
Universitas Palangka Raya

Dalam dialog TV-one kamis, 24 Mei lalu 2012, sungguh memprihatinkan. Karena terindikasi ada beberapa perguruan tinggi yang  memproduk sarjana dan meluluskan sebelum matang. Hal ini disebutkan oleh sejumlah mahasiswa yang merasa tidak nyaman melihat teman-temannya sudah wisudah, sementara mahasiswa seangkatan yang sama masih harus menempuh sejumlah mata kuliah yang belum selesai dalam studinya. Tapi kenapa ada temannya yang lain, kok sudah diwisuda. Oleh perguruan tinggi yang sama. Bahkan di jurusan yang sama. Sehingga mahasiswa yang lain jadi keberatan.
Utusan Kementrian pendidikan dan kebudayaan, dari dirjen pendidikan tinggi (Dikti), sepertinya tidak terlepas dari berbagai benturan. Tapi yang jelas kita sama ingat bahwa di awal tahun 2000-an lalu, juga terjadi pada hotel-hotel mewah di puncak mewisuda: S-1, S-2 dan S-3 yang perguruan tingginya tidak diketahui di mana lokasinya. Peristiwa kali ini, ijazah asli tapi palsu (Aspal) tidak muncul dari pergurun tinggi tanpa nama, tapi dari berbagai penguruan tinggi yang sudah punya nama. Hanya saja karena mewisuda mahasiswa yang tidak cukup waktunya. Sehingga mahasiswa yang lain merasa keberatan. Kasus ini menjadi nampak kriminal, karena melanggar kaidah hukum.
Saya sepakat apa yang dikemukakan Mayjen Saut Lubis kepala Divisi Humas Mabes Polri. Perbuatan perguruan tinggi yang   memperjual belikan ijazah. Melanggar Undang-Undang. Karena secara jelas dalam Undang-Undang nomor 20/2003. Bab XX ada ketentuan pidana. Pelanggar akan menerima hukuman pidana fisik dan denda satu meliar rupiah, dan hukuman fisik  10 tahun. Apakah pihak penyelenggara pendidikan, ataukah si penerima ijazah Aspal. Demikian juga lembaga atau tempat pelayanan pembuatan skripsinya.
Sayangnya bencana dalam dunia pendidikan seperti ini, pihak berwajib/berwenang masih melihat, mendengar dengan sebelah mata. Karena biasanya perguruan tinggi yang mau memproduk seperti ini, juga banyak disenangi oleh calon mahasiswa yang ingin cepat lulus dan segera mendapatkan gelar kesarjanaan. Di pihak lain, dimata masyarakat perguruan tinggi itu, merusak citranya sendiri. Kasihan para dosen tentu tidak seluruhnya mau mata kuliah yang ia bina, tiba-tiba mahasiswa yang kuliah dan belum lulus dengan dia tiba-tiba sudah diwisuda. Ini suatu perbuatan kesalahan yang sangat fatal. Dan pemerintah perlu membasmi ke akar-akarnya. Apa lagi bila mahasiswa yang sedag dalam bimbingan dengan dosen pembimbingnya, tiba-tiba perguruan tingginya mewisuda mahasiswa yang bersangkutan. Ini suatu perbuatan pelecehan ilmiah. Dan harus berhadapan dengan hukum. Karena si mahasiswa harusnya menyelesaikan bimbingan skripsi/thesisnya hingga selesai. Baru mahasiswa itu di Yudisium dan di wisuda. Kalau belum selesai bimbingan, mana karya ilmiah yang ditulis mahasiswa itu ?. apakah mahasiswa itu lulus dengan tanpa skripsi/thesis ?. tentu plagiatisme terjadi disini.
Sebenarnya membina mahasiswa jangan dibedakan antara anak dengan yang lain. Jangan juga membedakan mahasiswa yang punya duit dengan simiskin. Mereka harus diperlakukan dengan hak yang sama. Kalau tidak inilah yang bakal terjadi berupa ijazah sarjana aspal. Dari sudut pandang lain, kurangnya pengawasan. Apakah dari Dirjen Dikti, kopertis dan masyarakat. Ada kalanya masyarakat acuh-tak acuh saja dengan kasus seperti ini, walau mereka tahu bahwa perguruan tinggi tersebut terjadi penjualan ijazah Aspal. Di daerah, peran Polda, Polres untuk menjemput bola jika terjadi pemberian ijazah yang tidak pada tempatnya.
H.M.Norsanie Darlan, Guru Besar S-1 dan S-2 PLS Universitas Palangka Raya

1 komentar:

  1. Dunia makin gila, yang palsu dianggap enak, yang asli dianggap menyulitkan.

    BalasHapus