Jumat, 29 Juni 2012

MUNGKIN KAH SERTIFIKASI DIBISNISKAN


Oleh:
H.M.Norsanie Darlan

Dalam kesempatan ini mengumentari sertifikasi kalangan guru yang saat ini masih hangat di kalangan pendidikan. Sungguh menyedihkan bagi kalangan pegawai negeri sipil (PNS) yang memilih profesi guru. Karena tugasnya selalu bergulat dengan murid, ada kalanya tidak memperhatikan apa guna sertifikasi yang dibebankan pada dirinya. Dan apa mereka harus disertifikasi. Memang memilih profesi guru, tidaklah  sedikit jumlahnya. Bahkan kalau kita pelajari di suatu kabupaten tertentu ada kalanya jumlah guru lebih besar disebanding PNS yang bekerja dari Dinas, Badan dan berbagai kantor lainnya. Karena makin banyak jumlah anak usia sekolah, di sekitar tempat itu juga berdiri gedung-gedung sekolah. Apakah Sekolah Dasar, SLTP ataukah SLTA. Setiap gedung sekolah tidak mungkin hanya dengan jumlah guru 3-4 orang. Tapi jumlah itu pasti lebih banyak. Sesuai dengan mata pelajaran yang ada di sekolah itu.
Sebenarnya sebelum hal sertifikasi ini mencuat kepermukaan, berhembus juga bagi guru yang tidak berpendidikan sarjana. Umumnya bagi mereka yang mengajar pada sekolah dasar/MI. karena mereka kebanyakan berasal dari Pendidikan Guru Agama (PGA), Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Guru Olahraga (SGO). Padahal mereka sudah tidak pernah bermimpi wisuda sarjana. Namun karena perencana pendidikan yang tidak memperhatikan atau tidak banyak datang ke pelosok tanah air kita. Mereka pada guru sekolah dasar  ini, bertugas di lereng bukit, di tepi sungai, danau, di pesisir laut yang juga ada di perbatasan, serta di kawasan terluar tanah air kita. Ada kalanya mereka ke kota kabupaten lebih dari sebuah itupun kalau ada keperluan mendesak. Apa lagi ke kota Provinsi. Sepertinya sepertinya ada niat bisnis kelompok tertentu yang guru diharusnya kuliah. Dengan alas an kalau tidak sarjana tidak bakalan mendapatkan sertifikasi. Dan ujungnya lagi kalau tidak mendapat sertifikasi maka tunjangan 1 x gaji pokok tentu tidak akan diterima oleh guru yang bersangkutan.
Hal di atas, membuat  para guru, setuju atau tidak setuju, senang tidak senang, mereka harus mengikuti kuliah. Penyelenggara pendidikan tersebut pasti pada lembaga pendidikan tinggi yang mencetak guru. Dan tidak mungkin ada di pedesaan. Mereka harus belajar ke kota. Tentu saja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Biaya transportasi, kamar sewa dll.
Berbicara tentang kualitas, tentu dipertanyakan banyak orang. Karena mereka datang kuliah ke kota dengan waktu yang singat. Sudah diluluskan sejumlah mata kuliah. Sepertinya perguruan tinggi penyelenggara pun dirugikan. Karena dalam beberapa x masuk kuliah, sudah dianggap lulus dalam mata kuliah tertentu. Ini, apa benar bermutu. Tentu diragukan?, sementara mahasiswa kuliah normal menempuh 1 mata kuliah selama 1 semester berjalan + 6 bulan atau 14-16 x pertemuan, ditambah lagi dengan berbagai tugas dan latihan. Sehingga wajar seorang guru di desa, mengagetkan orang tua mahasiswa yang asal dari desa yang sama. Mereka jadi bertanya-tanya kapan guru-guru SD itu kuliah. Anak saya kuliah 4-5 tahun baru sarjana. Kenapa guru, dalam waktu singkat kok jadi sarjana. Kapan kuliahnya. Padahal mereka sibuk mengajar. Bagaimana kulitasnya ?.
Munculnya bisnis ada kemungkinan bagi kalangan tertentu mengambil kesempatan dalam kesempitan, yakni guru-guru yang lulusan: PGA, SPG dan SGO harus disarjanakan. Ini lahan bisnis untuk mereka kuliah dengan berbagai cara dan pasti lulus. Bagaimana pembuatan skripsi, apakah cukup lulus mata kuliah, berarti siap di yudisium dan wisuda ?. tidak kasihan ya melihat mahasiswa program reguler yang lulusan ikut seleksi sangat super ketat, kuliah memakan waktu 4-5 tahun.  Bagaimana bentuk skripsinya para guru SD ini, jika harus ada skripsi. Apakah para guru sudah terampil menulis skripsi?. Ataukah ada lembaga yang menjadi dewa menolongnya. Sudahkah membaca Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, Bab XX pasal 67 dst. Siapa pencetus ide itu, dan siapa pula yang bertanggung jawab. Jika hal itu berbenturan dengan UUSPN di negeri kita ?.
Sebenarnya guru yang kuliah mengambil S-1 itu, lebih banyak yang tidak siap. Artinya karena tuntutan sertifikasi, guru harus ikut kuliah. Pertanyaan muncul dari mana biaya kuliah mereka. Tuntutan awal tidak lain adalah: biaya transportasi dan kamar kost di kota. Ini yang membuat mereka harus menggadaikan gajinya ke Bank, menjual kebun dan sawah serta mengurangi biaya keperluan rumah tangga. Bukankah ini sebuah konsep yang merugikan banyak orang. Lain halnya kalau seorang guru dengan kesadarannya sendiri, ia ikut kuliah ke kota untuk menambah ilmu. Beda dengan yang dianjurkan kuliah agar guru sarjana. Kalau sudah sarjana baru disertifikasi.
Kenapa tidak dibiarkan saja guru yang hanya berpendidikan: PGA, SPG dan SGO tidak perlu di sarjanakan. Karena mereka itu, sudah bekerja 20-30 tahun lebih. Tapi bagi mereka yang mendaftar menjadi guru: harus berijazah sarjana pendidikan. Bukan sarjana non guru, ikut kursus akta 4 lantas diterima jadi guru. Padahal setelah berdiri di depan kelas lutunya bergetar. Karena tidak terbiasa berhadapan dengan murid di kelas. Tapi kalau sarjana pendidikan sebelum mereka dilulus jadi sarjana pendidikan, mereka harus ngernit/magang dulu di sekolah tertentu, sehingga pada waktu diterima jadi guru, ia tidak canggung berdiri di depan kelas, dan terampil membuat rencana pembejaran pendidikan (RPP).
Timbul sebuah pertanyaan yang terkadang lucu. Kalau guru SD/MI sarjana S-1 tentu guru SLTP harus sarjana S-2. Guru SLTA atau kejuruan, tentu harus S-3 atau doktor. Padahal di Perguruan tinggi saja, masih ada dosen yang berijazah S-1. sehingga mereka dipaksakan agar S-2. karena S-2 mengajar S-1. Tapi karena sulitnya dosen kuliah S-2. maka mereka yang sudah berusia 60 tahun kok juga disertfikasi, tanpa dilihat ijazahnya. Harusnya juga guru SD/MI yang sudah sepuh, atau sudah mengabdi 20-30 tahun atau lebih direlakan saja diberikan sertifikasi. Secara Cuma-Cuma. Toh pegabidannya juga sudah luar biasa. Belum tentu ybs sudah mendapat setya lencana 20 atau 30 tahun dari Presiden RI. Ini juga karena guru dan dosen atau PNS lainnya, tidak mau mengisi formulir dari kepegawaian. Seharusnya mereka yang sudah mengabdi selama 30 tahun atau lebih harus diberikan penghargaan setya lencana 10, 20 atau 30 tahun dari Presiden RI. Tentu dengan kriteria tertentu. Termasuk guru yang senang: merokok di kelas, minum minuman beralkohol, penjudi, susah turun mengajar, harus rela untuk tidak mendapatkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar