Kamis, 28 Juni 2012

UPAYA PEMASYARAKATAN PERPUSTAKAAN DAN MINAT BACA MASYARAKAT

Oleh :
H.M. Norsanie Darlan
   ( Paparan 12 Desember 2011 pada Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Provinsi Kalimantan Tengah)

Pendahuluan
Buku mecil berjudul Upaya Pemasyarakatan Perpustkaan dan Minat Baca Masyarakat ini, merupakan sebuah tulisan sederhana, yang dituangkan di atas kertas untuk tujun agar menjadi bahan bacaan masyarakat yang sekarang, berbagai bahan bacaan telah dituangkan baik dalam sebuah buku, majalah, koran, spanduk, poster dan berbagai media lainnya.
Namun dalam dunia pendidikan luar sekolah yang penulis tekuni, sebenarnya belajar membaca itu, tidak seluruhnya dalam bentuk tulisan seperti: buku, majalah, koran, tabloit dan sebagainya. Tapi kita bisa belajar pada lingkungan alam sekitar. Dan jika lingkungan sekitar itu, bisa kita tulis dan dituangkan dalam sebuah buku, alangkah indahnya karya kita itu. Dan dapat disumbangkan bagi generasi penerus bangsa. Walau masa sudah berlalu, tapi ide yang kita tulis selama masih belum hilang buku yang kita tulis itu, walau seabad atau lebih berlalu, ia tersimpan di perpustakaan dengan rapi, maka generasi penerus bangsa dapat membacanya apa dan bagainya peristiwa masa lampau. Hal ini terbukti seperti: teori Fransys Bacon, David Jones: Adult Education And Cultural Development, Alan Rogers, Ivan Elich, Paulo Freire, John Loce. Jhon Dewey, dll  (mohon ma’af kalau keliru menulis namanya).
Buku ini mengurai berbagai masalah tentang pemanfaatan perpustakaan dan motivasi budaya membaca yang dewasa ini siapapun yang kurang membaca, ia akan ketinggalan. Untuk lebih jelaskan isi buku ini, penulis akan mengurai secara sederhana hal-hal yang berkaitan dengan tersebut akan di urai di bagian lain:

Tujuan Penulisan
Adapun buku ini ditulis, adalah ingin menguraikan hal-hal berhubungan dengan minat baca masyarakat, agar budaya membaca dapat memanfaatkan buku sebagai sumber belajar masyarakat walau dalam segala keterbatasan. Selain itu tujuan penulisan ini adalah: turut serta dalam pengembangan budaya baca dalam upaya pembinaan perpustakaan di Kalimantan Tengah. Sehingga pemasyarakat perpustakaan menjadi tempat dan sumber minat baca masyarakat masa kini dan masa datang.

Berbagai Pengertian
Pemasyarakatan
Adapun apa maksud pemasyarakatan ini tidak lain adalah sosialisasi perpustakaan agar menjadi sumber belajar masyarakat di mana saja. Termasuk di Perpustakaan Daerah Kalimantan Tengah. Sedangkan arti secara harpiah dari pemasyarakatan menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani (2007) adalah:”... sekelompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama. Dengan kesamaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan...”.
Sedangkan arti pemasyarakatan adalah keselompok manusia yang terpelajar dalam budaya membaca, untuk masa depan yang lebih baik dari masa sebelumnya.

Perpustakaan
Adalah arti dari perpustakaan dalam kamus besar bahasa Indonesia yang ditulis oleh Poerwadarminta (1986) adalah:”...(1) tempat, gedung, ruang yg disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; (2) koleksi buku, majalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dibicarakan...”.

Kurangnya Minat Baca
Berbicara tentang faktor penyebab kurangnya minat baca pada remaja menurut: Chika (2011) adalah sebagai berikut : ”...
1. Bahwa minat baca masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa relatif rendah. Mereka lebih senang mencari hiburan pada acara di TV, warnet, mall, play station atau tempat hiburan lainnya di banding membaca buku di perpustakaan.
2. Universitas, dosen, murid dan guru belum membudayakan siswa untuk menggunakan perpustakaan sebagai salah satu sumber belajar. Sehingga siswa sangat rendah apresiasinya terhadap karya sastra maupun buku maupun yang lainnya. Padahal buku adalah guru kedua setelah guru/dosen di tempat belajar formal.
3. Minimnya koleksi buku-buku di perpustakaan. Di samping itu, perpustakaan yang ada tidak dikelola secara profesional.
4. Jumlah perpustakaan tidak sepadan dengan jumlah penduduk di Indonesia. Sebagai contoh tidak semua kota/kabupaten di Indonesia memiliki perpustakaan. Sekarang kita baru memiliki 261 perpustakaan dari sekitar 450 kabupaten/kota se-Indonesia, ini berarti masih banyak kabupaten/kota yang belum memiliki perpustakaan...”. Kenapa demikian, karena rasa berkepentingan penguasa terhadap buku kurang.

Cara mengatasi rasa malas untuk membaca yang efektif, khususnya bagi para remaja saat ini, menrut Rika Ridia Wati (2010) yaitu: Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk menumbuhkan minat baca pada mahasiswa ini antara lain dilakukan dengan cara :
1.                           Proses pembelajaran di sekolah atau di kampus harus dapat mengarahkan kepada peserta didik untuk rajin membaca buku dengan memanfaatkan literatur yang ada di perpustakaan atau sumber belajar lainnya. Disinilah peran dosen sebagai pendidik dan pengajar memberikan motivasi melalui pembelajaran mata pelajaran yang relevan memberi tugas kepada peserta didiknya.
2. Menekan harga buku bacaan maupun buku pelajaran agar terjangkau oleh daya beli pelajar dan mahasiswa.
3.                        Buku bacaan dikemas dengan gambar-gambar yang menarik. Bahkan seorang penulis Henny Supolo Sitepu (2006) mengemukakan bahwa:”... komik adalah salah satu bentuk bacaan yang bisa menjadi salah satu “pintu masuk” untuk kesenangan anak membaca...”. Pesan yang disampaikan mudah dicerna anak. Komik, semisal Tintin, dari gambar tokohnya sudah bisa “berbicara” dan bikin tertawa. Bahkan anak yang belum bisa baca-tulis pun akan menangkap ceriteranya.
4.Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya minat baca siswa. Baik di rumah maupun di sekolah.
5.Menumbuhkan minat baca sejak dini. Bahkan sejak anak mengenal huruf. Di rumah orang tua memberikan contoh membaca untuk anak-anaknya.
6.Meningkatkan frekuensi pameran buku di setiap kota/kabupaten dengan melibatkan penerbit, LSM, perpustakaan, masyarakat pecinta buku, Depdiknas, dan sekolah-sekolah. Dengan mewajibkan pelajar dan mahasiswa untuk berkunjung pada pameran buku tersebut.
7.Membentuk forum-forum diskusi yang tujuan utamanya adalah menumbuhkan dan meningkatkan minat baca para siswa sekaligus sebagai dasar membuat tulisan karena dalam forum ini siswa akan meresensi buku yang disediakan pihak kampus.
8.Kegiatan bedah buku dan semacamnya dengan harapan kesadaran siswa akan pentingnya buku akan tumbuh.
9.Melakukan seminar dalam berbagai hal terhadap generasi muda dengan jumlah yang lebih banyak, sebagai upaya movitasi belajar membaca.

Masyarakat
Jika kita mengkaji konsep lama tentang  masyarakat adalah sekelompok manusia yang menempati di suatu wilayah. Penulis mengambil pendapat salah seorang tokoh senior PLS kita: Sanapiah Faisal (1981) bahwa: “… masyarakat dibagi dalam 3 kelompok besar, masing-masing; Pertama: masyarakat perkotaan; Kedua: masyarakat pinggiran kota; dan Ketiga: masyarakat desa pedesaan...”.  Dengan demikian dalam hal minat membaca bagi masyarakat ini, apakah di perkotaan, pinggiran kota, apa lagi desa pedesaan masih sulit kita wujudkan. Kecuali ada jamping yang sungguh dapat menjadikan masyarakat berdaya.

Rendahnya Budaya Baca
Rendahnya budaya baca, di berbagai kalangan memang tidak semua perpustakaan rapat dikunjungi masyarakat. Karena budaya membaca tentu sebaiknya tertanam sejak dari anak-anak. Karena kalau sudah dewasa baru muncul minat baca adalah sebagai kesadaran yang hampir terlambat.
Kita sama maklumi setiap tanggal 17 Mei di peringati sebagai Hari Buku Nasional. Memang, pamor momentum tersebut, kalah jika dibandingkan dengan momentum lainnya, seperti Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) atau Hari Kebangkitan Nasional (21 Mei). Itu disebabkan banyak faktor, salah satunya ialah karena buku dan aktivitas yang terkait dengannya, seperti membaca dan menulis, tidak begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Benarkah demikian? Tentu tergantung pada kemajuan daerahnya.
Menurut Admin, (2008) adalah: “...Semasa ia duduk di bangku sekolah, ada satu ungkapan menarik yang sering diungkapkan oleh guru-gurunya. Yaitu, ungkapan “membaca adalah kunci ilmu, sedangkan gudangnya ilmu adalah buku.” Sepintas ungkapan itu sederhana, namun di dalamnya terkandung makna penting...”. Bahwa membaca (iqra) ternyata merupakan perintah Allah SWT kepada seluruh umat manusia, sebagaimana tertuang dalam QS Al-Alaq [96] ayat 1-5.
Selain itu artinya membaca menurut Admin, (2008): “...Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya....” Dengan demikian, berkat membaca kelak kita bisa lebih mengenal Allah SWT. Tak hanya itu, kita juga bisa mengenal alam semesta dan diri sendiri.
Sedangkan menurut: writingsdy, (2007) bahwa:”...bagaimana kondisi minat baca di Indonesia?...”.  sebuah pertanyaan di atas dengan berat hati kita katakan, minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Itu terlihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006. Bahwa:”... masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%)...”. Data lainnya, misalnya International Association for Evaluation of Educational (IEA). Tahun 1992, IAE melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV 30 negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempatkan urutan ke-29. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD. Data di atas, sungguh mencengangkan dengan kita semua.
Padahal, jika dikaitkan dengan perintah Allah SWT di atas, seharusnya bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam mampu melakukan aktivitas membaca. Apa pasal? Sebab, aktivitas membaca merupakan suatu perintah dari Allah SWT melalui Al-quran. Jadi, aktivitas membaca bisa dianggap sebuah kewajiban bagi setiap manusia. Hanya saja, dalam realitasnya aktivitas tersebut tidak gampang diwujudkan.
Banyak faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah, adalah sebagai berikut:
Pertama: ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa adanya buku-buku bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku bermutu menjadi suatu motivasi tinggi  bagi kita.
Kalimat di atas dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan memungkinkan tiap orang dan/atau anak-anak untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kepentingannya. Dari situlah, tumbuh harapan bahwa masyarakat kita akan semakin mencintai bahan bacaan. Implikasinya, taraf kecerdasan masyarakat akan kian meningkat; dan oleh karena itu, isyarat baik bagi sebuah kerja perbaikan mutu perikehidupan suatu masyarakat dengan motivasi membaca.
Kedua: banyaknya keluarga di Indonesia yang belum mentradisikan kegiatan membaca. Padahal, jika ingin menciptakan anak-anak yang memiliki pikiran luas dan baik akhlaknya, mau tidak mau kegiatan membaca perlu ditanamkan sejak dini. Bahkan, Fauzil Adhim, (2007) dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca  mengatakan, bahwa semestinya memperkenalkan membaca kepada anak-anak sejak usia 0-2 tahun.  Dan sebenarnya pada usia ini bukan dalam arti membacara tulisan, melainkan mereka membaca gambar-gambar yang disediakan oleh orang tua.
Sebab, pada masa 0-2 tahun perkembangan otak anak amat pesat (80% kapasitas otak manusia dibentuk pada periode dua tahun pertama) dan amat reseptif (gampang menyerap apa saja dengan memori yang kuat). Bila sejak usia 0-2 tahun sudah dikenalkan dengan membaca, kelak mereka akan memiliki minat baca yang tinggi. Dalam menyerap informasi baru, mereka akan lebih enjoy membaca buku ketimbang menonton TV atau mendengarkan radio.
Namun, apa sajakah usaha-usaha yang perlu dilakukan guna menumbuhkan minat baca anak-anak sejak dini? Dalam buku Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga Sukses buah karya Mustofa W Hasyim ” (2005), menganjurkan :”...agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga...”. Sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika ngumpul bersama istri dan anak-anak.
Di samping itu, orangtua juga perlu menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung. Penulis setiap bepergian ke luar kota, apakah ke Banjarmasin, Jakarta, Surabaya, Makassar, Medan selalu membeli buku bacaan. Alangkah indahnya buku bacaan yang dibeli selain untuk keperluan orang tua, juga buka bacaan untuk anak-anak di rumah. Sehingga anak lebih banyak di rumah untuk membaca dari pada pergi ke luar rumah untuk bermain ke tempat teman-temannya.
Sedangkan di tingkat sekolah, rendahnya minat baca anak-anak bisa diatasi dengan perbaikan perpustakaan sekolah. Seharusnya, pihak sekolah, khususnya Kepala Sekolah bisa lebih bertanggung jawab atas kondisi perpustakaan yang selama ini cenderung memprihatinkan. Padahal, perpustakaan sekolah merupakan sumber belajar yang sangat penting bagi siswanya. Dengan begitu, masalah rendahnya minat baca akan teratasi. Padahal perpustakaan adalah “...jantung sekolah...”. artinya perpustakaan yang di dalamnya tersedia buku bacaan. Dan penulis pernah menyebutkan di berbagai tempat bahwa:”...buku adalah guru ke dua dari orang sukses...”.
Selanjutnya, pemerintah daerah dan pusat bisa juga menggalakkan program perpustakaan keliling atau perpustakaan menetap di daerah-daerah. Sementara soal penempatannya, pemerintah bisa berkoordinasi dengan pengelola RT/RW atau pusat-pusat kegiatan masyarakat desa (PKMD). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
Selain hal-hal di atas, rendahnya budaya membaca menurut pustawan Indonesia H.Athaillah Baderi (2005) adalah:”...Kemampuan membaca (Reading Literacy)  anak-anak Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA) pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia, menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30....”.
      Data di atas relevan dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank dalam sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“ tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita  hanya mampu meraih kedudukan paling akhir dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang memperoleh nilai 75.5
Buruknya kemampuan membaca anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan dan matematika. Hasil tes yang dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study (TIMSS)  dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan bidang matematika dengan  nilai 411 di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai 420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika  yang memperoleh nilai 508 di atas nilai rata-rata internasional. Dan dalam bidang ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya. Data dalam berita TVRI Palangka Raya, tanggal 9 Desember 2011. jam 18.30 mnyebutkan bahwa ada 200 desa telah memiliki perpustakaan masing-masing desa 1000 eks buku. Tidak jelas apakah hal ini Taman Bacaan Masyarakat (TBM) ataukah Perpustakaan Desa. Penyediaan buku ini harus diikuti dengan serkuliasi. Kalau buku yang tersedia tidak terjadi perubahan, minat baca mereka tentu akan turun.

Rendahnya tingkat Pendidikan Masyarakat
Menurut H. Athaillah Baderi (2005) adalah: ”...United Nations Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa...”. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index – HDI) bangsa itu.
Berdasarkan laporan UNDP  tahun 2003 dalam “Human Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks – HDI) berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke 109, padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar. Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Melihat beberapa hasil studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP) maka dapat diambil kesimpulan (hipotesis) bahwa “ kekurangmampuan anak-anak kita dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta  tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia adalah akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Oleh sebab itu membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999; 381) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita. Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah berkisar sekitar 15 – 25 tahun.

Merperhatikan  Minat Baca

Dalam mencari Cara Meningkatkan Minat Baca Siswa di Sekolah menurut Ari Es (2011) adalah:”...Masyarakat di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-beda di setiap daerah begitu juga dengan karakter pelajar di sekolah. Dalam bidang budaya membaca seringkali media dalam mempublikasikan selalu di dominasi dengan pemberitaan yang menyatakan bahwa minat baca pelajar di Indonesia Rendah. Padahal secara fakta pasti ada (mungkin banyak) sekolah yang pelajarnya banyak yang suka membaca tapi hampir tidak pernah (sangat jarang) di publikasikan…”.

Berdasarkan pengalaman penulis yang sering berkunjung di beberapa sekolah dan mendengarkan “…curhat-an dari pengelola perpustakaan sekolah…” melalui jejaring social menyatakan, jika sebenarnya minat baca pelajar tinggi. Melalui tulisan ini penulis ingin berbagi tips bagaimana supaya minat baca siswa di sekolah, tinggi. Untuk lebih jelasnya ada 3 hal dalam uraian sebagai berikut:
1. Tersedianya Perpustakaan yang Dikelola dengan Baik
Bicara terkait dengan budaya baca tidak lepas dengan adanya peran penting sebuah perpustakaan terlebih di lingkungan sekolah. Sebuah perpustakaan harus memberikan pelayanan dan manajemen yang baik, dalam memberikan kebutuhan referensi siswa di sekolah. Jika perpustakaan adalah sebuah produk maka dia harus menjamin kwalitasnya dengan baik dan disukai oleh konsumen dalam hal ini oleh pelajar. Pustakawan juga harus cerdas dalam menganalisa koleksi buku apa yang diinginkan dan disukai oleh pelajar, jika perlu dilakukan penelitian atau request.
2. Promosi Gerakan Gemar Membaca di Lingkungan Sekolah
Jika belajar dari perusahaan produk-produk yang mendunia, akan tahu betapa faktor penentu laku tidaknya sebuah produk adalah ditentukan faktor promosi (iklan), Tentunya poin pertama diatas (kwalitas) harus diutamakan. Jika poin pertama (Tersedianya Perpustakaan yang Dikelola dengan Baik) sudah terpenuhi, maka promosi wajib gencar dilakukan.
Cara untuk melakukan promosi ini bisa bekerjasama dengan pihak kepala sekolah bersama jajaranya. Akan lebih baik lagi jika Kepala Sekolah, Guru, dan staff sekolah menjadi orang pertama yang mengawali gerakan gemar membaca di sekolahnya. Bisa juga membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca misalnya “Kami Ingin Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin jadi Juara dan Berprestasi ? Rajinlah Membaca” begitu dan sejenisnya.
Cara lain bisa juga dengan cara kebijakan sekolah yang mewajibkan semua siswa pada seminggu sekali atau dua kali diwajibkan membaca sebuah buku diperpustakaan yang kemudian disuruh merangkum buku yang dipinjam serta menjelaskan apa point penting dari buku yang sudah mereka baca.
Selanjutnya jangan terlalu sering menyalahkan para siswa ”malas membaca” jika para guru di sekolah sendiri tidak pernah memberikan contoh bahwa para guru juga gemar membaca.
Tantowi Yahya berslogan: ”...Ibuku Perpustakaan Pertamaku...”
selain itu: ”...Luangkan Waktu Untuk Membaca Buku Bagi Anak Anda...”.
3. Berikan Penghargaan (Hadiah) untuk mereka yang Rajin Membaca
Setelah poin pertama dan kedua lakukan, langkah selanjutnya berikanlah hadiah untuk mereka yang rajin membaca. Caranya bisa dilakukan dengan kerjasama antara pihak perpustakaan dan kepala sekolah melalui kebijakan. Hadiah tersebut bisa diberikan misalnya untuk siswa paling sering meminjam buku di perpustakaan. Namun perlu dicatat bahwa pemberian hadiah ini juga harus dilihat bukan hanya pelajar yang hanya suka meminjam buku perpustakaan saja, tapi harus dilihat prestasinya.Hal ini penting supaya murid/pelajar tidak hanya mengejar supaya dapat hadiah kemudian mereka hanya sering pinjam buku tapi tidak pernah membacanya. Jadi ada semacam ketentuan berlaku disini bahwa yang mendapatkan hadiah adalah mereka yang rajin meminjam buku yang kemudian diikuti dengan peningkatan prestasi setelah kerajinan membacanya. Jenis hadiah sendiri bisa dalam bentuk pulsa (yang disukai pelajar), Uang saku, dan sejenisnya yang pasti disukai siswa.
Mungkin sebenarnya di setiap sekolah yang paling tahu terkait dengan kondisi di sekolah adalah diri anda sendiri dan ketiga tips ini merupakan hanya sebagian kecil tips yang diharapkan bisa membantu untuk meningkatkan minat baca pelajar dan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Budaya Menulis
Budaya menulis memang tidak dapat dipaksakan. Remaja Indonesia tidak minat membaca, menulis menurut: Farah Zamira BT Farush Khan (2011) Abdul Said (2011) adalah:”...minat membaca dan menulis dalam kalangan remaja di negara itu sememangnya berada pada tahap membimbangkan....”.
“Kedua-dua budaya tersebut saling berkaitan. Bagaimana seseorang boleh menulis jika mereka langsung tiada minat untuk membaca,” katanya.
Menurutnya lagi, ramai atau tidak untuk berpuas hati dengan kualiti penulisan pelajar akibat tabiat dan karater mereka yang tidak suka membaca. Dengan rendahnya budaya membaca, tentu kurang menguasai permasalahan. Sehingga hasil tulisannya yang terlihat kalau penulis itu rajin membaca.
Budaya menulis yang dialami penulis tentu tidak bisa menunggu apa yang harus di tulis, untuk menjadikan budaya menulis harus diawali dengan rutinitas kapan waktu menulis itu dalam setiap hari. Selain itu, menulis juga harus siap setiap saat. Walau tengah malam sekalipun, kalau menenukan apa judul yang mau ditulis, harus bangkit dan menulis. Sebab kalau tunggu besok maka apa yang mau kita tulis jadi kabur.

Bahan Renungan Bangsa
        Dalam budaya menulis selain hal di atas, kita perlu merenung pada: Teori Fransys Bacon yang terlahir diabad pertengahan. Ia mengatakan dalam sebuah tulisannya menyebutkan bahwa:”...manusia terbagi dalam 3 hal, masing-masing: (1) padai membaca membuat otak manusia penuh; (2)pandai diskusi membuat otak manusia siap; dan (3)pandai menulis membuat otak manusia Cermat...”.  Dengan demikian harapan dari seorang pendahulu kita ini tidak sekedar membaca dan berdiskusi, tapi menulis merupakan hal yang pada strata paling tinggi. Sebab dengan tulisan yang tertuang dalam buku merupakan karya yang tidak bisa habis. Misalnya karya para pujangga Indonesia yang menulis buku masa lampau diantaranya: Prof. DR. Buya Hamka. Seperti tenggelamnya kapal Vanderwic, Dibawah Lindungan Ka’bah dan banyak penulis lainnya, tulisan tulisan pujangga lama ini, masih banyak ditemukan di perpustakaan. Dan harus didokumentasikan dengan baik. Karena mereka telah tiada, tapi hasil karyanya masih dipakai dan dibaca dalam abad-abad sekarang. 

 

Ancaman (Threats) Era Globalisasi

Menurut H. Athaillah Baderi (2005) adalah:”...apabila rendahnya minat dan kemampuan membaca masyarakat kita sebagaimana terwakili oleh anak-anak dan orang dewasa dalam beberapa penelitian di atas dibiarkan sampai pada suatu saat tetap status quo maka dalam persaingan global kita akan selalu ketinggalan dengan sesama negara berkembang, apalagi dengan negara-negara maju lainnya. Kita tidak akan mampu mengatasi segala persoalan sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya selama SDM kita tidak kompetitif, karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, akibat lemahnya kemauan dan kemampuan membaca...”.
Pengalaman pahit telah menerpa bangsa kita, pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997. Akibat krisis moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur maka ekonomi kita telah tercabik-cabik.

 

Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan

Salah satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak kita tergolong rendah karena sarana dan prasarana pendidikan khususnya perpustakaan dengan buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam penyelenggaraannya. Sedangkan kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku yang cukup dan bermutu serta eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses pembelajaran.
Faktor lain yang menghambat kegiatan anak-anak untuk mau membaca adalah kurikulum yang tidak secara tegas mencantumkan kegiatan membaca dalam suatu bahan kajian, serta para tenaga kependidikan baik sebagai guru, dosen maupun para pustakawan yang tidak memberikan motivasi pada anak-anak peserta  didik bahwa membaca itu penting untuk menambah ilmu pengetahuan, melatih berfikir kritis, menganalisis persoalan, dan sebagainya.

Perpustakaan dan Buku
Di hampir semua sekolah pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kondisi perpustakaannya masih belum memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Perpustakaan sekolah belum sepenuhnya berfungsi. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan, serta peralatan dan tenaga yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah merupakan sumber membaca dan sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa, pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan kecerdasan seseorang akan dapat H. Athaillah Baderi (2005) bahwa: “…merangsang berahi membaca…” orang tersebut. Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana, serta harganya dapat dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, maka kegiatan membaca akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta sebuah kondisi “masyarakat konsumen membaca” yang akan mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.
Perluasan jangkauan layanan perpustakaan baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat.
Sistem Pendidikan Nasional dan Kurikulum
Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan arah agar tujuan pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif dalam era globalisasi, sehingga bangsa Indonesia tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip antara lain :
a)       sebagai suatu proses pembudayaan  dan  pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
b)      Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Kedua prinsip di atas harus saling bergayut. Artinya dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, harus diisi dengan kegiatan pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus memuat kegiatan pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu yang cukup memberi kesempatan banyak untuk membaca.
 Demikian pula dalam bahan kajian seni dan budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang dengan kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari.
Kegiatan membaca dan menulis tidak saja menjadi prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian Seni dan Budaya, tetapi hendaknya juga secara implicit harus tercantum dalam Bahan-bahan Kajian lainnya.

Saran-saran
Dalam bagian ini, penulis mencoba mengemukakan sejumlah saran sebagai berikut:
Produk adalah ditentukan faktor promosi (iklan),  juga membuat baliho atau spanduk di sekitar sekolah yang berisi seruan rajin membaca misalnya “Kami Ingin Pintar makanya Kami Suka Membaca”, Ingin jadi Juara dan Berprestasi ?
Rajinlah Membaca” begitu dan sejenisnya. Mungkin hal ini sudah terlaksana, tapi kalau berulang kali, pasti munya kesan tersediri dari murid/pelajar. Atau pelajar dan mahasiswa. Namun perlu dicatat bahwa pemberian hadiah ini juga harus dilihat bukan hanya pelajar yang hanya suka meminjam buku perpustakaan saja, tapi harus dilihat prestasinya di tempat mereka belajar.
Perpustakaan perlu menyelenggarakan lomba mengarang bagi pelajar dan mahasiswa, untuk melihat sampai dimana keterampilan menulis bagi masyarakat terpelajar dalam hal menulis di Kalimantan Tengah.



Daftar Pustaka

Abdul Said 2011. minat membaca dan menulis dalam kalangan remaja di negara itu sememangnya berada pada tahap membimbangkan, Jakarta.

Adhim, Fauzil, 2007. Upaya dalam bukunya Membuat Anak Gila Membaca, Jakarta.

Admin, 2008. Kebanyakan rakyat Malaysia kurang minat membaca, Kuala Lumpur.

An-Nabhani, Syaikh Taqyuddin, 2007. arti masyarakat dalam pelajaran sosiologi sma kelas 1, Jakarta.
Baderi, H. Athaillah,  (2005) Pidati  Pengukuhan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, Perpustkaan Nasional, Jakarta.
Chika, 2011. faktor penyebab kurangnya minat baca pada remaja, Internet.

Khan, Farah Zamira BT Farush, 2011. minat membaca dan menulis dalam kalangan remaja di negara itu sememangnya berada pada tahap membimbangkan,  Jakarta.

Poerwadarminta, WJS, 1086. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Sitepu, Henny Supolo, 2006. komik adalah salah satu bentuk bacaan Masyarakat, Jakarta.

Tillaar, H.A.R, 1999.Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional ; Dalam Prespektif Abad 21, Magelang : Indonesia Tera, Jakarta.

writingsdy, 2007.   M  engatasi Rendahnya Minat Baca di Indonesia, Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar